Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra

Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra magnify
Sejarah di tlatah Nusantara mencatat : “Bila Ada
Brahmana masuk kedunia politik, maka namanya jadi
hancur. Ksatria atau politikus sekuat apapun, ketika
dia membantu anak-anaknya jualan, maka akan segera
rontok. Wesya sang sodagar, yang berkolaborasi dengan
antek-antek politikus korup, melalui kucuran BLBI,
akan hancur, dikejar sampai ke ujung dunia. Para
mahasiswa yang belum memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang cukup, diprovokator oleh brahmana
haus kuasa, menginjak-injak gedung DPR, lalu
tergesa-gesa merusak tatanan yang sudah ada,
melahirkan reformasi yang saat ini nyaris tak
berarti”. Apa penyebabnya ?

===
=== Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra
=== Oleh Ki Jero Martani
===

Di dalam kitab-kitab kuno Nusantara terdapat
pengertian yang disebut Catur Warna yang merupakan
konsep kemasyarakatan ala Nusantara, diterapkan di
kejayaan Majapahit, yang bertujuan memayu hayuning
buwono – membuat dunia – masyarakat ini rahayu atau
sejahtera. Akan tetapi perlu di garis bawahi bahwa
pengertian Catur Warna pada saat jaman Majapahit,
sangat bertolak belakang dengan pengertian “wangsa” di
Bali dan kasta di India.

Warna berasal dari Bahasa Sanskerta dengan asal kata
Vri artinya memilih lapangan pekerjaan. Dan Catur
Warna dapat diartikan adalah pembagian masyarakat
menjadi empat kelompok profesi yang memiliki kedudukan
paralel horisontal. Warna ditentukan oleh ”guna” dan
”karma”, guna artinya sifat, bakat dan pembawaan,
sedangkan karma dapat diartikan sebagai perbuatan atau
pekerjaan.

Dalam Bhagavadgita terdapat syair yang kalau diartikan
secara bebas adalah : ”Catur Warna Kuciptakan menurut
pembagian dari guna dan karma (sifat dan pekerjaan).
Meskipun Aku sebagai penciptanya, ketahuilah Aku
mengatasi gerak dan perbuatan”. Lalu pada syair yang
lain dituliskan : ”O, Arjuna, tugas-tugas adalah
terbagi menurut sifat, watak dan kelahiran,
sebagaimana halnya Brahmana, Ksatria, Waisya dan juga
Sudra.”
---o---
Pada kesempatan kali ini, saya sebenarnya tidak
berkehendak untuk berdebat tentang Wangsa di Bali atau
Kasta di India. Juga tak ingin memicu debat kusir yang
mengarah pada menjelek-jelekan agama. Akan tetapi
semata-mata untuk mengambil mutiara-mutiara yang
terpendam dari syair-syair kuno warisan leluhur
Nusantara.

Dalam buku-buku sastra nusantara, profesi digolongkan
menjadi 4 yaitu brahmana – orang-orang yang bekerja
sebagai penjaga gawang sosio kultural – kiai, pendeta,
pedanda, guru, dosen, pemuka masyarakat yang bertugas
memelihara adat istiadat dan sejenisnya. Lalu Ksatria
– adalah para penjaga gawang sistem politik atau
penyelenggara negara – legislatif, eksekutif dan
yudikatif, sedangkan Wesya adalah orang-orang yang
bertugas mengelola sub sistem adaptif – perekonomian.
Sedangkan sudra adalah orang-orang yang berprofesi
bukan ketiganya.

Sekali lagi saya saya tegaskan, keempat golongan
tersebut, tidak dinyatakan satu lebih tinggi dari yang
lain, melainkan paralel horisontal, semua harus ada di
tempatnya masing-masing, sesuai dengan bakat dan
pekerjaannya. Rukun dan sikap saling hormat
menghormati antar golongan di catur warna, sangat
diperlukan untuk harmonisasi masyarakat. Pembagian
empat golongan ini juga menghendaki tidak adanya cross
function atau rangkap jabatan/kekuasaan.

Kiai dalam posisi sebagai brahmana yang bertugas
mengemong umatnya di bidang sosio kultural, tidak
diperbolehkan untuk masuk ke dunia politik (wilayah
ksatria). Seorang ksatria tidak diperkenankan untuk
bergerak langsung ataupun tidak langsung dalam sektor
perekonomian. Wesya atau pengelola perekonomian, tidak
boleh berkolaborasi atau bahkan rangkap jabatan
sebagai politikus, karena akan menyebabkan, keluarnya
undang-undang monopoli untuk menguntungkan kelompok
bisnisnya.
---o---
Kalau kita lihat, dari sudut pandang kebangsaan, Para
”brahmana”, sudah semestinya tekun dengan tugasnya
dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan dari
sistem kemasyarakatan yang terdiri dari beragam Suku,
Agama, Ras dan hubungan Antar Golongan. Golongan
Brahmana, diharapkan untuk mampu membangun sistem
nilai yang dianut bersama, seluruh anak bangsa di
tlatah Nusantara. Tanpa ada nilai-nilai yang dipahami
bersama, maka rakyat, tidak memiliki dorongan untuk
terlibat dalam membangun kebangsaan, tidak ada rasa
kebersamaan. Mereka kehilangan tujuan bersama,
semangat satu bangsa, satu ’bahasa’ dan satu tanah
air. Karena itulah, Brahmana bertugas untuk
mempertahankan integrasi sosial dengan menetapkan
sistem norma (tujuan, falsafah hidup) yang dianut
bersama, sehingga mampu merajut kembali serpihan yang
terserak dan kocar-kacir setelah reformasi terjadi.

Sangat disayangkan, saat ini para Brahmana
gontok-gontokan, kelihatan manis ketika berhadapan
pada rapat lintas agama, tapi setelah itu aktif
menamkan pada akar rumput rasa kebencian bahkan untuk
saling serang satu dengan yang lainnya. Membangun
fanatisme agama, bukan dengan tujuan untuk berbakti
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi semata-mata untuk
memuaskan nafsu untuk meraih kedudukan-kedudukan
politik dan keuntungan material. Para pendidik dan
tenaga kependidikan yang terhimpit masalah ekonomi,
terbaca kesedihannya oleh para peserta didik, dan
sangat mungkin mereka jadi juru kampanye negatif
terkait dengan peran negara dalam memberikan
kesejahteraan.
---o---
Ksatria adalah orang-orang yang memiliki tugas dalam
hal pengelolaan negara. Baik itu di legislatif,
eksekutif maupun di yudikatif. Para ksatria bertugas
untuk menterjemahkan dengan lebih rinci, tujuan-tujuan
bangsa, yang ditetapkan oleh elemen sosio kultral,
sehingga tujuan bersama dapat tercapai. Tugas utama
para ksatria penyelenggara negara adalah
menterjemahkan lalu menetapkan ”inti” tujuan, lalu
menterjemahkannya secara praktis, memberikan arah
serta pengertian, serta menyusun rangkaian tindakan
yang terintegrasi untuk mencapai tujuan.

Ksatria bertugas menetapkan visi negera, menetapkan
garis-garis besar haluan negara sehingga tujuan dan
cita-cita yang dirumuskan oleh elemen sosio kultural,
menjadi spesifik dan memiliki manfaat yang signifikan.
Lalu setelah tersusun rencana yang matang, maka
rencana tersebut diimpelementasi, bukan untuk
kepentingan sendiri, melainkan untuk kesejateraan
seluruh masyarakat.

Celakanya, setelah berteriak lantang mengenai visi dan
misi pada saat pemilihan umum, para Ksatria,
oknum-oknum pemimpin politik, baik di tingkat
nasional, maupun daerah, bingung dalam menterjemahkan
keinginan para pemilih, ke dalam langkah-langkah
praktis untuk mencapai tujuan. Ketidak mampuan ini
pada akhirnya menjadi sebab disorientasi tujuan dan
kekacauan di sistem sosio kultural. Berbagai langkah
yang dilakukan, bukan untuk kemaslahatan masyarakat,
melainkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan
kelompoknya.
---o---
Lalu wesya, yang menjadi penjaga gawang subsistem
perekonomian, bertugas untuk menghasilkan nilai
(value) baik berupa barang maupun jasa. Para wesya,
akibat kebijakan para ksatria, terpangkas keuntungan
usahanya, sehingga pasokan ke dalam sub sistem adaptif
berupa modal dan semangat kerja menjadi sangat
berkurang.

Yang terakhir adalah sudra. Sudra ini bukan berarti
yang paling rendah, tetapi dalam hal ini adalah
orang-orang yang profesinya bukan brahmana, bukan
ksatria, dan bukan pula wesya, dan sudra merupakan
representasi dari masyarakat kebanyakan (wong cilik).
Sudra atau masyarakat luas inilah yang mestinya
di-emong oleh subsistem sosio kultural atau para
brahmana – agar benar-benar dapat berkontribusi penuh
dalam penyelenggaraan suatu negara. Akan tetapi pada
kenyataannya, para petani penghasilannya banyak
hilang, dimakan bensin, mahalnya pupuk dan
insektisida. Masyarakat sering disatroni Garong di
siang hari, maling mengambil barang terang-terangan,
penjarah dimana-mana. Koruptor triliunan rupiah bebas
melenggang, rakyat lapar makin tertindas dan meregang.
Semuanya ini, mendorong kearah krisis legitimasi –
krisis kepercayaan rakyat terhadap lembaga-lembaga
penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
---o---
Bagaimana hubungan antar bagian dari Catur Warna ?
Sistem sosio-kultural (Brahmana) akan memberikan
jaminan kesetiaan massa pendukung bagi sistem politik.
Dan sistem politik (Ksatria) tentunya harus memikirkan
kesejahteraan dari para Brahmana dan masyarakat umum
yang jadi umatnya. Para ksatria bertugas mengendalikan
gerak perekonomian negara secara adil, sehingga para
wesya dapat tenang dalam memutar roda perekonomian.
Sebagai imbal baliknya, sistem ekonomi akan memberikan
kontribusi berupa pajak kepada sistem politik. Sistem
perekonomian akan memberikan barang/jasa kepada
subsistem sosio-kultural, sedangkan subsistem sosio
kultural akan memasok para kerja dengan motivasi
tinggi untuk memutar roda perekonomian.

Nah pada kenyataannya sekarang, para wesya tidak
menjalankan swadharma atau bidang tugasnya untuk
menghasilkan sejumlah nilai-nilai baik berupa
barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi. Hal ini
disebabkan karena berbagai kebijakan administratif
yang diterapkan oleh para Ksatria, ternyata tidak
mampu memenuhi kebutuhan para Wesya agar mampu
berusaha dengan baik. Produk-produk sistem politik,
tidak menghasilkan sejumlah keputusan rasional yang
diperlukan untuk mengatur negara dengan adil. Pada
saat krisis ekonomi terjadi, para aparatur negara
bertindak sebagai perencana bagi pemodal-pemodal besar
kaum pedagang. Tindakan aparatur negara sebagai
pelaksana hukum mengalami kesadaran rendah bahkan
sampai pada titik nadir yang bisa di toleransi.
Keputusan-keputusan aparat negara sangat tidak
rasional, sehingga terlihat dengan jelas, bagaimana
kepentingan para kapitalis, menang terhadap
kepentingan masyarakat secara umum. Karena gerak
perekonomian kurang, maka pajak tidak dapat masuk ke
kas negara, di tambah kerakusan penyelenggara negara,
maka hutang luar negeri makin menumpuk.

Politisasi agama dan budaya, juga memiliki efek
samping yang tidak diinginkan, berupa campur tangan
aparat negara dalam tradisi kultural. Hal ini
semata-mata karena kolaborasi jahat para ksatria dan
brahmana sehingga muncul erosi tradisi yang
menghancurkan jati diri bangsa tanah Nusantara. Para
penjaga gawang sosio-kultural tidak mampu lagi
membangun nilai-nilai kebersamaan sebagai bangsa.
Sehingga mempercepat keretakan yang timbul di
masyarakat.
---o---
Kecenderungan krisis ini berubah menjadi penarikan
legitimasi dengan cara memporak-porandakan aparat
negara. Lalu krisis legitimasi langsung berubah
menjadi krisis jati diri. Memang tidak berdampak
langsung, tetapi krisis jati diri diakibatkan oleh
kenyataan bahwa pelaksanaan tugas-tugas perencanaan
dan eksekusi rencana pembangunan, yang diemban
pemerintah, telah menimbulkan pertanyaan besar.
Pertanyaannya adalah apakah seluruh upaya tersebut
dapat mendorong kearah kesejahteraan publik atau malah
menyengsarakan masyarakat ?

Masyarakat sudah mulai kehilangan motivasi, akibat
tingkah pola para brahmana durjana, para politisi
bermulut manis tukang ingkar janji, serta muak pada
para pedagang serakah yang mengeruk keuntungan dengan
cara-cara yang tidak berkah.
---o---
Kalau sudah pada titik tersebut, maka benarlah
pertanda yang ditulis 500 tahun yang silam yaitu
Gunung Merapi Meletus, Laharnya Berbau Amis. Letusan
gunung merapi hanyalah menjadi pertanda, dimulainya
atmosfir berbau amis darah anak bangsa, baik itu
karena gempa, ataupun yang akan terjadi berikutnya
yaitu amisnya darah akibat korban gerakan masyarakat.
Gerakan masyarakat yang muak dan ingin membangun
tatanan tanah nusantara yang baru. Gerakan yang akan
mencecerkan darah para ulama, memuncratkan darah
pejabat laknat, dan menggorok leher para pedagang
jahat. Darah yang tercecer akan menjadi tumbal
perbaikan tatanan kemasyarakatan di tanah Nusantara.

Dan negara-negara donor mulai mencium gelagat ini.
Melalui antek-anteknya di pemerintahan, mendorong agar
hutang-hutang negara agar cepat untuk dilunasi. Negara
donor selalu berkoar mendukung negara kesatuan
republik Indonesia, bukan karena mereka baik, tetapi
karena kalau Indonesia tercerai berai, siapa yang
membayar hutang yang berjibun banyaknya ?
Negara-negara mereka akan terseret pada krisis ekonomi
yang berkepanjangan.

Sodara-sodara, sadarlah, kita masih bersatu bukan
karena adanya Pancasila, atau para pejabat yang hanya
omong belaka. Kita masih bersatu ... karena hutang
kita begitu banyak. Kalau negara kita tak punya
hutang, niscaya dari dulu kita sudah porak poranda !

Jadi, mumpung hutang kita masih banyak, dan belum
terbayar, segeralah bersatu.

Hai para Brahmana, Ksatria, Wesya dan Sudra, yang
masih bernurani, segeralah bersatu untuk menyusun
kembali tatanan tanah Nusantara. Mari kita bersihkan
Indonesia dari oportunis-oportunis yang hanya mencari
nikmat dari kekuasaan yang dimiliki, tanpa tanggung
jawab untuk membuat tanah Nusantara jadi Rahayu.
Acuhkan para Brahmana banyak mulut, penjual ayat.
Singkirkan ksatria-ksatria haus kekuasaan. Penjarakan
para sodagar yang menggangsir uang rakyat begitu
banyak.

Bangkit kembali Tanah Nusantara
Salam Hormat,


Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: