RE: [mediacare] Kali Yuga

Ki Jero Martani, saya coba tanggapi dan berbagi dengan 'panjenengan', mungkin ada gunanya, walaupun mungkin tidak tepat sekali, namun mungkin dapat menjadi bahan pemikiran dan/atau diskusi:

Di sebuah buku best-seller dunia berjudul "Confessions of An Economic Hit Man", penulisnya yang bernama John Perkins (www.johnperkins.org), seorang mantan EHM (Economic Hit Man), menyebutkan ramalan yang ia dengar di berbagai suku bangsa, baik di biara Himalaya, di situs upacara di Indonesia, di suaka pribumi (Indian) di Amerika Utara, dari kedalaman Amazon hingga ke puncak Andes dan ke kota suku Maya di Amerika Tengah; yang kesemuanya berbicara tentang hal serupa, walau judul dan pesan ramalan itu berbeda sedikit satu dengan lainnya. Ramalan itu menceritakan macam-macam hal tentang Jaman Batu, Awal Matahari Kelima, akhir penanggalan lama dan awal penanggalan baru, dan lain-lain; namun mempunyai kesamaan cerita tentang bahwa dahulu kala dalam kabut sejarah, umat manusia pada dasarnya TERBAGI dan mengambil dua buah jalur yang berbeda: jalur Condor (mewakili hati, bersifat intutitif dan mistis) dan jalur Elang (mewakili otak, bersifat rasional dan materiil). Ramalan itu mengatakan pada tahun 1490-an (kedua jalur itu akan menyatu dan sang Elang akan mendorong sang Condor ke ambang kepunahan. Sebagai informasi tambahan dari saya untuk pembanding, beberapa peristiwa besar dunia di dekade ini adalah ditemukannya Amerika Serikat oleh Columbus pada tahun 1492 oleh ekspedisi atas restu Raja Ferdinand dan Ratu Isabela dari Spanyol. Pada tahun yang sama, di tahun 1492 Masehi, adalah juga merupakan tahun puncak terjadinya 'Masa Inkuisisi' pembantaian terhadap kaum Muslim dan Yahudi, suatu pembersihan atas sisa-sisa Kekhalifahan Bani Umayyah di Spanyol dan Portugal (dan di Sicilia, Italia; pembersihan terhadap kaum Muslim dan Yahudi di sana) yang di Spanyol dan Portugal ini dipimpin juga oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabela. Di masa ini juga adalah masa-masa awal dari jaman Renaissance (kebangkitan kembali Eropa) menuju jaman Modern, mengejar ketertinggalannya dari Timur, sesudah Eropa mengalami apa yang disebut sebagai jaman Abad Kegelapan atau jaman Abad Pertengahan.

Lalu lima ratus tahun kemudian, sekitar tahun 1990-an menurut ramalan ini, suatu jaman baru akan dimulai, dan sang Condor dan Elang akan mempunyai kesempatan untuk bersatu kembali, terbang bersama-sama di langit yang sama, mengarungi jalur yang sama. Jika sang Condor dan Elang menerima kesempatan ini, mereka akan menciptakan keturunan yang paling luar biasa, berbeda dengan yang pernah dilihat sebelumnya. Apapun juga kenyataan ramalan luar-biasa ini, ternyata saat ini kita telah memasuki Milenium Ketiga di tahun 2006 ini. Maka sadarkah kiranya anda, bahwa anda sedang hidup di masa yang menarik dan penting, menilik ini semua?

Ke mana arah Nusantara Indonesia di masa depan?

Saya sungguh tidak cukup tahu.

Tetapi ke manapun juga nanti, rasio pendapatan seperlima penduduk dunia di negara-negara terkaya terhadap pendapatan seperlima penduduk di negara-negara termiskin dunia meningkat dari 30 berbanding 1 pada tahun 1960, menjadi 74 berbanding 1 pada tahun 1995. Dan Bank Dunia, USAID, IMF, dan bank-bank lainnya, korporasi-korporasi dan pemerintah-pemerintah yang terlibat di dalam “bantuan” internasional jaringan “corporatocracy”, terus menceritakan kepada kita bahwa mereka sedang melakukan pekerjaan mereka, bahwa kemajuan telah dicapai. SUNGGUH MALANG nasib Indonesia (dan negara-negara berkembang lain terutama penghasil minyak bumi dan gas alam) mendapatkan ‘bantuan’ pinjaman yang di ‘mark-up’ sehingga berbunga yang bahkan tak mungkin dibayar sampai ke anak-cucu, dan masih pula ditambah dengan korupsi besar-besaran yang biasanya dilakukan orang Indonesia sendiri. Sungguh, ‘Teori Menetes’ yang pernah saya baca di berbagi buku ekonomi makro tentang ‘maksud baik’ Orde Baru untuk membiarkan para pemimpin dunia usaha (baca: konglomerat, pengusaha swasta umum, Badan Usaha Milik Negara, dan lain-lain; laksana Chaebol di Korea Selatan yang didukung pemerintahnya, namun dengan disiplin lebih rendah di Indonesia) menjadi lokomotif ekonomi dan menarik gerbong panjang berisi rakyat Indonesia, benar-benar hanya MENETESKAN sangat sedikit saja hasil keuntungan mereka untuk masyarakat banyak, setelah dikurangi berbagai hal, atau investasi lain di usaha-usaha lain berdasarkan segala optimisme prediksi. Jatah rakyat itu yang dapat sangat berguna untuk berbagai layanan kesehatan, pendidikan, fasilitas umum, tunjangan sosial, dan sebagainya; sudah SANGAT dikurangi (resmi atau tidak) kata banyak kalangan oleh dan untuk jatah para oknum pejabat, pegawai negeri, petugas pajak, petugas admin istrasi, petugas hukum, polisi, tentara, dan sebagainya.

Tapi bukankah kita tidak dapat menyalahkan mereka sepenuhnya, para pegawai negeri dan aparat negara ini? Mereka, katanya, seharusnya, adalah orang-orang terpandang yang masih percaya cerita warisan budaya kolonial penjajah Belanda tentang jaminan kesejahteraan pegawai negeri 'ambtenaar’ yang karena jatah pendapatan mereka yang resmi ternyata sangat ajaib kecilnya di masa kemerdekaan guna memenuhi cita-cita akan negara sosial Indonesia; tidak diimbangi dengan tangkalan terhadap arus iming-iming kemewahan global dunia dan penyediaan fasilitas umum yang baik; maka ‘terpaksalah’ mencari penghasilan tambahan. Orang Indonesia ini pintar-pintar bukan? Bagaimana pendapat anda? Sigmund Freud dengan sederet teori psikoanalisanya akan setuju. Hahahahahaaaa …!

Satu contoh (serius, bukan sindiran seperti di atas), adalah peraturan pemerintah tentang kepemilikan mobil (apalagi mobil mewah) yang dipersulit dengan tambahan pajak pembelian yang sangat tinggi (banyak kalangan yang tahu berkata, pajak mobil Indonesia termasuk tertinggi di dunia) di masa Orde Baru guna memenuhi cita-cita akan negara sosial dengan prinsip pemerataannya, selain tentunya untuk pemasukan negara. Maksud cukup mulia yang antara lain berguna untuk meminimalkan perbedaan kaya-miskin ini, ternyata tidak dibarengi penyediaan fasilitas transportasi umum yang memadai, sehingga mau-tidak mau rakyat yang tentulah menginginkan sesuatu yang lebih baik untuk transportasi sehari-hari (mobil pribadi misalnya), apalagi di wilayah tropis seperti ini; berusaha memenuhinya. Karena prinsip ekonomi ‘ada kebutuhan ada pasokan’, dicarilah berbagai cara untuk memenuhi segala penunjang hedonisme ini, dan di kemudian hari lahirlah berbagai paket kredit kepemilikan mobil yang juga diceritakan menghasilkan banyak kolusi, manipulasi, dan sebagainya; selain menghasilkan jumlah mobil yang membengkak terutama di perkotaan yang lalu mengakibatkan kemacetan lalu-lintas karena (di antara berbagai faktor lain) agaknya prediksi pertumbuhan ekonomi dan segala kaitannya (termasuk penyediaan jalan) oleh pemerintah itu (yang dibantu para konsultan seperti para Economic Hit Man/EHM itu), tidak realistis. Istilah EHM sendiri, adalah suatu istilah ’kode’ di antara mereka sendiri yang merujuk kepada orang yang ditugaskan untuk dua pekerjaan utama: (1) Membenarkan pinjaman internasional yang besar kepada negara-negara berkembang yang kemudian akan disalurkan kembali kepada ”MAIN” dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang lain seperti ”Bechtel”, ”Halliburton”, ”Stone & Webster Engineering Corporation (SWEC)”, ”Brown & Root” atau ”Kellog Brown & Root”; melalui proyek-proyek rekayasa teknis (engineering) dan konstruksi raksasa. (2) Membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman itu (setelah negara-negara itu membayar MAIN dan kontraktor Amerika Serikat lainnya, tentu saja) sehingga negara-negara itu selamanya akan berhutang kepada kreditor mereka itu dan dengan demikian mereka akan menjadi sasaran empuk dan sekutu yang penurut ketika Amerika Serikat (dan sekutu-sekutunya, mungkin) memerlukan dukungan mereka seperti untuk pangkalan militer, hak suara PBB, atau akses kepada minyak dan sumber daya alam lain. Maka, negara-negara yang telah berhasil ia taklukkan atau paling tidak ia ketahui fakta-faktanya tentang operasi super rahasia ini adalah antara lain Ekuador, Indonesia, Arab Saudi, Iran, Panama, Iraq, Kolombia, Venezuela (para EHM dan ’serigala’, menemui kegagalan di Iraq, Panama, dan Venezuela namun toh tidak demikian para tentara Paman Samnya yang sukses dengan Invasi oleh Amerika Serikat ke Panama dan Perang Teluknya ke Iraq). Dan John Perkins mengungkapkan kekhawatirannya bahwa banyak orang-orang biasa di berbagai negara (termasuk di Indonesia, tentunya) mungkin secara tak sadar juga menjadi bagian dari Corporatocracy di perusahaan-perusahaan, berbagai organisasi, dan menjadi alat untuk menekan lawan-lawan kepentingan Corporatocary; dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan orang-orang biasa itu seperti melalui lobbying, hadiah, gaji, bonus, pelatihan, pemotivasian, penggalangan opini dan simpati; dan sebagainya.

Akhirnya, di rangkaian Chain-Reaction lingkaran setan ini, pemerintah dan rakyat, kita semua jugalah yang ‘kerepotan’. Dan di dalam teori bisnis, ternyata bila suatu sistem sudah kacau, salah satu caranya adalah melakukan re-rengineering (perombakan dasar, yang populer sebagai BPR, Business Process Re-engineering atau CPR, Core Process Re-engineering) dan agaknya yang telah dialami Indonesia adalah dengan cara Reformasi ini. Entah, sampai seeektif dan seefisien mana proses Reformasi ini akan bergulir kiranya.

Saya bukan anti Amerika Serikat, saya masih sangat menikmati banyak teknologi dan segala budaya pop Amerika, dan agama saya, Islam, tidak mengajarkan diskriminasi rasial, agama, dan sebagainya; apalagi untuk dilakukan secara ofensif dan aktif (hanya pasif, dalam kerangka jihad sebagai betuk bela-diri, bukan untuk serangan mendahului). Tapi tak pelak segala fakta dan spekulasi ini (misalnya tentang Manifest Destiny, EHM, para serigala, Pan-Americana, Doktrin Monroe, kroni Bush, NSA, CIA, Corporatocracy, dsb.; baca buku "Confessions of An Economic Hit Man atau ringkasannya yang telah saya kirimkan ke beberapa Miling List bebrapa waktu lalu menjelang berbagai peristiwa penting Mei 2006 ini) membuat saya berpikir banyak tentang berbagai bayangan indah, terutama di masa kecil dulu, tentang Amerika Serikat, bahkan orang kulit putih. Dulu semasa kecil, Inggris dan Amerika Serikat, adalah negara pahlawan saya, dan saya memimpikan dan mengidentikkan diri saya sebagai ’anak Inggris’ atau ’anak Amerika’. Saya dari dulu sampai sekarang adalah penggemar Spider-Man dan Superman. Saya pembaca berulangkali seri Tintin, Asterix, Tanguy & Laverdure, Little House, Lima Sekawan, Sapta Siaga, dan sebagainya dan termasuk buku cerita best-seller sekarang, Harry Potter yang membius dan menakjubkan itu; selain berbagai buku ilmiah produk Amerika dan negara-negara maju lain itu. Saya juga penggemar masakan dan ahli memasak masakan Barat (walau tentu saja sebagai Muslim, saya tidak pernah menambahkan Anggur, Brandy, Rhum, Whisky dan sejenisnya serta Babi ke masakan saya, serta memasaknya hingga matang hingga kering darahnya dan hilang segala cacing dan sebagainya; tiga hal yang sering ada dalam seni Kuliner a la Barat dan tak sesuai dengan agama saya).

Saya mampu berbicara Bahasa Inggris fasih dalam logat British, dan saya dapat mengubahnya menjadi logat Scottish atau bahkan Irish, satu hal yang dikagumi oleh bahkan kenalan berbangsa Inggris saya. Saya hafal banyak kisah hidup orang besar Barat dan sejarah Barat mungkin lebih daripada sejarah bangsa sendiri. Saya bahkan dulu turut memusuhi tanpa berpikir panjang siapa saja yang mereka musuhi seperti ditunjukkan dalam film-film Hollywood, dan kemenangan Amerika tentu saja tanpa pikir panjang dulu, adalah kemenangan saya juga. Namun sekarang saya benar-benar berhati-hati dalam menilai segala sesuatu. Sekarang, bayangan identifikasi diri saya menjadi anak ’Inggris atau Amerika’ itu menjadi meredup, dan saya telah cukup lama mulai menggali ke-asia-an saya, terutama ke-indonesia-an saya, bahkan dalam arus kencang Globalisasi. Dan saya masih cukup bangga menjadi orang Nusantara Indonesia, ini sudah takdir saya, walau sebagian hati saya juga mengagumi saudara kita Malaysia yang gemilang itu. Malaysia, negeri yang dulu belajar dari kita bahkan masih mengirimkan mahasiswa belajar kedokteran ke Universitas Airlangga sampai sekarang di tahun 2006, namun telah keluar dari Krisis Moneter dengan lebih cepat di bawah Mahathir Mohammad; sementara kita masih dininabobokkan gurindam, legenda, dongeng, langgam, dan seterusnya tentang ’negeri Nusantara yang subur, kaya, dan makmur’ dan menganggap semua sudah dan akan beres dengan sendirinya karena ’Tuhan menyayangi kita, bukan?’.

Lalu, Senin 25 April 2006 (tulisan ini saya tulis selama beberapa hari, di antara berbagai kesibukan lain) saya tak sengaja menyaksikan liputan TV tentang akad nikah anak Bambang Trihatmojo, dan menyaksikan mantan Presiden Soeharto datang tanpa duduk di kursi roda seperti di tahun-tahun lalu sesudah ia ’lengser keprabon’, ke acara akad nikah cucunya itu. Pak Harto, sang Bapak Pembangunan Orde Baru, terlihat sehat dan segar-bugar berseri-seri, sangat sehat untuk orang seusia beliau yang telah mengalami stroke, membuat saya sejenak bernostalgia saat saya dulu semasa kecil duduk di depan TV menyaksikan siaran TVRI tentang berbagai keajaiban pembangunan ekonomi Republik Indonesia di masa Orde Baru dengan rangaian tahapan Pelita (Pembangunan Lima Tahun) negara tercinta ini. Saya turut berbahagia melihat pak Harto saat itu, sungguh, sejujur-jujurnya, saat menyaksikan betapa Tuhan memberikan karunia umur panj ang kepada seorang tua yang cukup tampan. Saya juga dari dulu menyadari betapa tampannya kedua mantan Presiden kita, Sukarno dan Soeharto, dan betapa pengaruh besar mereka terhadap berbagai kemajuan yang kita sempat dan masih nikmati.

Namun sisi lain diri saya, tak dapat berhenti untuk terus memikirkan apa yang telah terjadi selama beberapa puluh tahun terakhir di Indonesia tentang Permesta, PRRI, DI/TII, Gerakan Non-Blok, Demokrasi Terpimpin, Trikora dan Dwikora, G 30 S PKI, Pelita, Demokrasi Pancasila, NKK-BKK, P4, BAKIN dan intelijen negara, Pemilu dengan hanya tiga partai, DPR, MPR, Bappenas, deregulasi, Pakto-Paknov (Paket Oktober dan Paket Novembernya Radius Prawiro), ’keterbukaan’ Orde Baru, manipulasi, korupsi, kolusi, para konglomerat, para Jenderal, para pejabat negara, para dukun, adat-istiadat, takhayul, dinamisme, animisme, aktivis mahasiswa yang hilang; lalu Krisis Moneter, likuidasi, pengangguran, kemiskinan, fasilitas layanan umum, kekurangan pendidikan, dan sekolah-sekolah negeri yang terpencil dan seperti kandang sapi. Kemudian tentang berubahnya budaya bangsa dengan segala sisi baik-buruknya, para pemimpin kita, p olitik dan politik dagang-sapi, narkoba, pornografi yang meningkat, layanan seksual, ”Wanita Tuna Susila’ (WTS) yang berganti nama menjadi ’Pekerja Seks Komersial’ (PSK, jadi seharusnya mereka ini berhak masuk Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia, ASPEK Indonesia, termasuk mungkin menjadi Menteri Tenaga Kerja Indonesia, bukan?), hutan gundul, kebakaran hutan, konglomerat yang kabur atau bunuh diri, kebodohan masyarakat, konflik dan genocide antar suku-bangsa dan umat beragama, pembunuhan-pembunuhan akibat kemiskinan, bom, berbagai demo, banjir di Jakarta dan bahkan Airport Soekarno-Hatta, dan bencana alam.

Kemudian Sampoerna dengan segala iklan sindirannya, Jama’ah Islamiyyah, sekolah-sekolah bisnis, Bank Indonesia, BPPN, divestasi, Freeport, Chevron-Caltex, UMR, partai-partai, DPR, KPU, KPK, dan lain-lain. Juga Soekarno-Hatta, Soeharto, Marsinah, Soe Hok Gie, Baharuddin Lopa, Munir, Tommy Soeharto yang berada di penjara, Ricardo Gelael yang bebas dari penjara, Soedomo, L.B. Moerdani, Frans Seda, Soemitro Djojohadikusumo dan ’Mafia Berkeley’nya, Widjojonitisastro, Dorodjatun Kuntjorojakti, Radius Prawiro, Bustanul Arifin, Ginanjar Kartasasmita, Fu’ad Bawazier, Peter F. Gontha, Edi Tanzil, Prabowo Subianto, Wiranto, Agum Gumelar, Sudrajat Djiwandono, Laksamana Soekardi, Taufik Kiemas, Tommy Winata, Gubernur DKI Sutiyoso, BJ. Habibie, ’Gus Dur’ Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Amien Rais-Siswono, Kwik Kian Gie, Todung Mulya Lubis, Jaksa Agung Adurrahman Saleh, Kapolri Sutan to, SBY-JK. Dan terakhir kembali ke terutama mengenai tulisan John Perkins dan Michael Moore, serta apapun fakta lain yang belum terungkap di balik hubungan semua hal itu.

Sebagai tambahan, kawan saya seorang lulusan MM UI, punya kawan yang dulu bekerja di BPPN. Menurut penuturannya, kawannya ini terus-terang mengaku kepadanya bahwa sejak bergabung dengan BPPN, ia ’kebanyakan duit’ tiap bulannya, dan bingung ’duitnya mau diapain bahkan sesudah membeli beberapa mobil dan rumah’. Begitu banyak pihak berkepentingan dengan BPPN yang membuatnya ’kebanyakan duit’, menurutnya. Kawan saya sendiri, karena mengaku bahwa ia bersifat jujur dan mau mengabdi untuk negara saat wawancara kerja dengan BPPN agaknya (inilah sifat kawan saya yang menjaga agama dan jujur), kemudian tidak diterima bekerja di sana. Dan pada lain pembicaraan menurut pendapatnya, di Indonesia, banyak sekali orang yang bersedia disuap, termasuk oleh kepentingan asing. Saya sendiri setuju, wong lha kita ini maunya kebarat-baratan memang, bahkan mungkin lebih kebarat-baratan daripada orang b arat sendiri bisa-bisa, sudah lupa terhadap semboyan ’berdikari’ (berdiri di atas kaki sendiri) Sukarno dan berbagai sejarah dunia. Generasi yang bingung dan menyedihkan, ’orang pinter malah miskin di jaman edan’, seperti ramalan Joyoboyo, sudah benar terjadi.

Negara ini sangat kaya sebenarnya, dengan atau tanpa hutang. Tapi juga sangat kayalah para koruptor dan manipulatornya. Di Australia, turis Indonesia menurut mereka, jauh lebih disenangi daripada turis Jepang, karena lebih royal. Percayalah, saya juga bergaul dengan mereka2 yang diduga, saya duga, demikian. Dan bila sebuah kaum menyia2kan nikmat, apalagi bergelimang maksiat, maka azab Tuhan (dengan nama apapun kau panggil Dia) akan datang, segera.

DAN ORANG MASIH BERTANYA MENGAPA SEMAKIN BANYAK TERJADI BENCANA ALAM DI NEGERI INI?

Dan ini semua berhubungan dengan alam semesta sebagai tempat tinggal manusia, dengan masing2 mempunyai konstanta dan variabel sendiri, tentunya, dalam sistem Tuhan ini. Ini wajar, karena manusia adalah makhluk dengan Sistem Terbuka (Input-Production-Output-Feeding Back system dengan lingkungannya) menurut Teori Sistem. Itu semua lalu 'cuma' perimbangan paramater, variabel, pembobotan masing2 faktor/variabel, dengan segala distribusi probabilistiknya, serta ilmu2 lain yang belum dijangkau manusia, dsb. Dan, demi penjelasan ilmiah, ini masih diperlukan (walau cuma sekelumit dari ilmu Tuhan), penjelasan akan sebab, symptom, stimulus, gejala, dan akibat fisik. Dan perlu memang, untuk menerangkannya bagi manusia yang (hanya) mengambil dasar ilmiah untuk memahaminya, yang ternyata menurut Einstein pun masih, "Ada faktor X yang tak dapat dijelaskan".

Yang non fisik masih banyak. Ada garis2 tak terlihat yang menghubungkan segala hal. Apalagi menurut kuliah2 dan sejumlah sarana info lain, PADA DASARNYA, ternyata, tidak ada yang TIDAK berhubungan di dunia ini. Misalnya, masih ingat Theory Of Everything nya Stephen Hawkings? Butterfly Effect? Domino Theory? Chain reaction? Rantai Makanan? Teori Empiris Kimia? Kekekalan Energi Fisika? Psikologi dan Psikologi Sosial? ... dsb. Manusia kebanyakan tak melihatnya, dan Tuhan akan menaikkan Ulil 'Albab (golongan yang berpikir) lebih tinggi derajatnya. Agama 'kan bukan hanya sembahyang saja? Maka, apakah bila ada 2 orang jaman sekarang kembali dengan mesin waktu ke jaman dulu, dan saling berkomunikasi dengan Handy Talkie, dengan menggunakan gelombang tak terlihat mata, akan dianggap ilmiah, wajar, oleh manusia jaman dulu itu yang menyaksikannya? Lalu, mengenai daerah yang rawan gempa vulkanik, tektonik, dsb., bahkan lain2 nya yang mengalami musibah hampir seakan terjadual, itu juga wajar, apalagi kalau kembali ke konsep konstanta dan variabilitas tadi, juga Probabilitas (dengan AHP dan segala macamnya, misalnya), terutama saat kita sudah mengenal Fuzzy Logic Theory nya Lotfi Zadeh.

Daerah kritis ada rahmat lainnya, selalu ada perimbangannya dari Tuhan, contohnya Nusantara yang dapat lempengan patahan banyak, ternyata subur dan banyak berpotensi. Daerah panas dan bergurun, seperti Arab Saudi-Iraq-Iran misalnya, punya minyak bumi banyak biasanya. Pernah ke Riau? Riau sangat panas, tapi juga banyak minyak di atas (kelapa sawit) dan minyak di bawah (minyak bumi). Sang Programmer, Sang Manager tingal tekan 'satu tombol' untuk bencana, atau bahkan 'berhenti', jika para wakilnya itu melebihi batas konstanta tertentu. Dalam hal ini, sebagaimana disebutkan Al Qur'an, Dia tinggal berkata "kun fa ya kuun" ("Jadi!", maka jadilah). Laksana cerita perjalanan produk dalam "Product Life Cycle". Ini juga sangat wajar dalam khazanah konsep Simulasi, terutama yang Dinamis, bukan? Sedangkan angka ilmu pasti "1" saja ternyata adalah pendekatan pembulatan dari angka 0,09999 99999999999999999999999999999999999 … "Ada faktor X" itu, kata Einstein. Maka, konsep binary logic menjadi usang, atau hanya untuk tingkatan rendah saja.

Saya menjadi takut, sedih, dan sedikit marah, lalu. Sedikit terbersit harapan akan benarnya tengara tentang Global Paradoxnya John Naisbitt bahwa saat arus Globalisasi membuat hampir seluruh pelosok dunia menjadi sama, justru bagian2 terkecil dunia tak bersedia disamaratakan dan mulai mencari faktor-faktor pembeda mereka guna mengejawantahkan keberadaan mereka. Dan tentu saja, sesuai juga dengan tengara konsep Global Paradox ini, bahkan sebaiknyalah mereka melakukan ini, karena memang ‘perbedaan itu adalah rahmat’. Untuk membuat satu sistem besar yang kuat, bagian-bagian terkecilnya harus juga kuat; karena masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang memang berbeda-beda dan saling menguatkan, walau memang ada perbedan-perbedaan yang mungkin mengganggu. Semoga memang benar adanya, seperti yang pernah saya tulis di sebuah tabloid manajemen lokal bertahun-tahun lalu, bahwa semoga saat ini Asia, khususnya Indonesia; sedang menemukan caranya (kembali, sekali lagi), daripada notabene mengikuti cara-cara Barat.

Sehubungan dengan ini, menurut filsuf Friedrich Nietzsche di tahun 1880-an, kebudayaan Barat sendiri berada di ambang kehancuran karena terlalu mendewakan rasio (akal). Ia sangat kritis terhadap cita-cita modernisme yang sangat berkuasa di Eropa jaman modern itu. Dan kepercayaan umum akan kemajuan yang terjadi, sudah dilecehkannya bahkan sejak akhir abad XIX. Ia mengkritik hampir semua relung-relung Barat (termasuk agama-agama Barat), namun pada waktu itu orang mentertawakannya, bahkan dikira orang banyak sebagai orang gila. Penulis sekaliber Bertrand Russel saja bahkan pada sekitar tahun 1945 pun menyatakan bahwa ia tidak menyenanginya, dan berharap filsafat post-modern Nietzsche akan hilang lama-kelamaan; suatu hal yang ternyata justru terjadi sebaliknya di kemudian hari. Walaupun Nietzsche juga terkenal dengan klaimnya bahwa Tuhan itu tidak ada, «Tuhan sudah mati », hanya bayangan atau imajinasi men urutnya dalam sebuah tulisannya, namun pemikirannya tentang keadaan dunia boleh jadi adalah salah satu inspirasi besar yang turut mewarnai perkembangan dunia. Dan sekitar satu abad kemudian pada tahun 1990-an, Filsuf Fritjop Capra juga menyatakan hal yang sama tentang kritik terhadap arah pembangunan peradaban dunia. Capra bahkan telah menulis buku “The Tao of Physics” yang menggegerkan dunia Fisika, karena memperlihatkan hubungan antara revolusi sipritual dan fisika. Selain itu ia juga menulis buku penting “The Turning Point: Science, Society, and The Rising Culture” tentang krisis global serius pada awal dua dasa warsa akhir abad XX dalam aspek kehidupan kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan hidup, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, dan politik.

Capra, melihat bahwa penyebab semua kekacauan itu karena tidak digunakannya paradigma utuh dalam merekayasa budaya. Ia secara khusus menuding bahwa paham Cartesian (paham warisan Filsuf Descartes) dan Newtonlah yang bertanggungjawab memunculkan paradigma tunggal bahwa paradigma sains selain digunakan dalam pengembangan budaya sains, dipaksakan digunakan juga dalam pengembangan budaya seni dan etika (yang seharusnya mendapatkan paradigma, perhatian, pembangunan dan pengimplementasian berbeda, menurut Capra). Sementara itu, filsuf lain, Kuhn, pada tahun 1970-an juga menyatakan bahwa manusia telah salah dalam menjalanai kehidupannya, dan mulai merindukan spiritualisme yang hilang dari kehidupannya. Di Indonesia, Herma Suwardi, guru besar Filsafat Universitas Padjajaran Bandung menyatakan dengan geram tentang kekurangan filsafat ilmu yang digunakan Barat, yaitu paradigma sains warisan Descartes dan Newton. Dan S oedjatmoko ‘Koko’, seorang pemikir dan filsuf Indonesia lain, menyatakan pada tahun 1980-an bahwa ilmu dan teknologi berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh selanjutnya, berkisar tentang masalah ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan ilmu dan teknologi. Prof. Ahmad Tafsir, guru besar Filsafat IAIN Jakarta dalam bukunya "Filsafat Umum", jelas menyatakan ini semua, bahkan tentang sejarah, pembagian, dan penyeimbangan indera-akal-hati.

Para pendukung Akal sendiri memiliki ‘lawan’ sepadan, yaitu para pendukung Hati (rasa); dan mereka cenderung saling bertentangan sejak awal jaman peradaban manusia (sesuai dengan khazanah wawasan Barat, karena ilmu pengetahuan dan budaya sekarang tak lepas dari sudut-pandang Barat sebagai pihak yang sedang menguasai ilmu-pengetahuan dan teknologi paling maju secara umum dan rata-rata). Kesemua masyarakat Barat namun, cenderung tetap mendewakan rasio secara berlebihan selama dan sesudah masa Modern. Akal sendiri dianggap mengalami ‘kekalahan’ di masa kira-kira sejak tahun 200 sampai 1600-an Masehi oleh Hati (rasa, agama) di Barat, saat Eropa dikungkung berbagai hal negatif di masa Abad Pertengahan (disebut juga Abad Kegelapan) yang didominasi kaum agamawan. Akal sendiri dalam hal ini diwakili Filsafat, dan hati diakili Agama, paling tidak menurut kacamata Barat.

Berkaitan dengan hal ini, mungkin anda masih teringat akan pertentangan antara Galileo Galillei yang menggunakan teleskop temuan Nicolaus Copernicus dan menyatakan bahwa Bumi mengitari Matahari, sementara dominasi kaum agamamawan Gereja di jaman itu berkeras bahwa Bumi adalah pusat alam semesta dan karenanya adalah Matahari yang mengelilingi Bumi? Karena kalah pengaruh, Galileo dilarang menyebarkan pahamnya, dan buku-bukunya dibakar. Pengucilan terhadap temuan dan diri Galileo ini sendiri kemudian direvisi dan diakui resmi Gereja Katolik, namun baru sekitar lima ratus tahun kemudian. Pada jaman itu, juga banyak pihak yang bertentangan dengan tafsiran Gereja, misalnya Jean d’Arc (Joan of Arc) dari Perancis atau orang-orang yang dianggap penyihir karena meramu ramuan kimiawi tertentu dan ragam tuduhan lain; bahkan dihukum mati dengan cara dibakar hidup-hidup.

Lalu, dengan didahului Renaissance dan berlanjut ke Masa Modern, peradaban dunia pun menjadi berubah. Humanisme juga muncul, saat potensi manusia di Barat yang seakan agak tertutup dan dinafikan di jaman sebelumnya yang didominasi Hati menjadi lebih dikedepankan dan digali, dan tercermin dalam inti sari pemikiran "manusia menentukan takdirnya sendiri, kehendak Tuhan tidak cukup penting, maka agama (yang dikenal Barat) dengan segala aturannya juga tidak penting". Kata Rennaissance sendiri berasal dari kata re-nasci dari bahasa Perancis yang berarti kelahiran kembali, saat Barat berusaha mengejar ketertinggalan peradabannya dari Timur setelah masa-masa `kekalahan akal' itu, dan salah satu akibatnya agama di Barat menjadi dijauhi, bahkan dinafikan.

Jaman Modern sendiri di kemudian hari telah kita ketahui, adalah sebagai pengejawantahan perlawanan pendukung Akal terhadap para pendukung Hati (rasa atau agama), yang kemudian ternyata menjadi `terlalu jauh'. Maka untuk mendekonstruksinya, lawan dari Filsafat Modernisme ini adalah Filsafat Post-Modernisme yang melakukan dekonstruksi terhadapnya sampai saat ini; dan Nietsche adalah pelopornya. Dan sekarang, kita sedang dalam masa yang disebut sebagai masa Post-Modern ini. Manusia modern yang mewarisi sikap positivistik rasionalisme ini (juga Humanisme) cenderung pula menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan substansi rohani manusia, dan bahkan hari akhirat. Ini tentu berpengaruh kepada penafsirannya ke dalam (manajemen) pengaturan kehidupan sehari-hari, dan ini semua juga mengawali apa yang di kemudian hari dalam struktur masyarakat (sosial) dan budaya serta tatanan ekonomi bahkan politik dan hukum disebut sebagai Sekulerisme yang menafikan agama, dan membuat agama tidak boleh mengurusi urusan duniawi, dianggap hanya sebagai alat untuk berhubungan dengan Tuhan saja dan mengurusi urusan ‘tidak tampak’; pendeknya agama adalah untuk masalah akhirat saja.

Dan secara langsung atau tidak, ini semua juga di kemudian hari menyebabkan apa yang dikenal sebagai Kapitalisme, juga Sosialisme (a la Barat, bukan a la Timur), Marxisme, Komunisme, Agnostisme, bahkan Atheisme, sebagai konsekuensinya; dan pada gilirannya kemudian menyebar dari Barat dengan segala sisi baik-buruknya melalui Globalisasi yang kita kenal sekarang, bertempur dan juga bercampur dengan segala paham lain yang dikenal manusia, termasuk agama-agama. Khusus mengenai Agnostisme, dianggap beberapa kalangan adalah merupakan ‘saudara agama Kristen dengan tafsir berbeda’, bukan merupakan peminggiran agama (namun memang ya, jika kita menganggap bahwa agama hanyalah Katolik atau Kristen Protestan saja). Sosialisme sendiri adalah reaksi atas Kapitalisme, dan Marxisme, Komunisme, bahkan Atheisme; adalah reaksi langsung dan tidak langsung dari para pendukung akal yang ‘muak’ akan kehidup an dan agama yang dikenal Barat saat itu. Omong-omong, ternyata belum pernah ada rasanya agama lahir di Barat. Dan Indonesia juga sudah kadung menjadi negara sekuler berdasarkan agama, yang sejak cita-citanya menjadi negara Sosial sesuai dengan UUD'45, kemudian juga entah menjadi negara apa sekarang ini. Tapi yah, memang hidup ini dinamis, bukan?

Omong-omong lagi, apakah agama itu sebenarnya? Agama, yang menurut khazanah Barat sering disebut sebagai perkara yang tak jauh dari masalah hati atau rasa; cukup berlainan dengan tafsiran cara hidup peradaban di Timur, yang adalah merupakan kesatuan akal dan hati, lebih tepatnya, indera-akal-hati (dan agaknya di Timur ada juga yang diwarnai kecenderungan untuk lebih menggali potensi hati daripada akal saja termasuk hal-hal di luar itu semua yang bersifat tak diketahui manusia atau ghaib dan mistisme); yang kesemuanya berujung kepada bentuk praktek, budaya dan peradaban masing-masing. Maka secara ironis, di timur kedudukan akal tak harus berbenturan dengan hati (dan indera). Lebih jauh pula terutama di jaman dahulu kala, dunia timur tak banyak yang merasa perlu untuk benar-benar memisahkan antara telaah akal, hati, dan indera. Di Timur, kaum cerdik-pandai ilmuwan dan Filsuf, sekaligus dapat menjadi agamawan bahkan Mistikus, tanpa harus pusing memilahkannya; seperti pada Ibnu Sina (di Barat dikenal sebagai Avecinna), Al Ghazali (Alghazel), Al Kindi (Alkindus), Ibnu Rusydi (Averoez), Al Razi (Rhazes), Al Khawarizmi (Algoritmus atau Algoritma), juga Laksamana Muhammad Cheng Hoo (Zheng He) yang telah mengerungi banyak penjuru lautan sebelum para penjelajah Barat misalnya; untuk menyebut sedikit nama di antara banyak sekali nama besar dari Timur.

Dan sejak masa kedatangan Islam di abad keenam Masehi, yang menurut para penganutnya adalah menggenapkan apa yang dibawa oleh rangkaian para nabi sejak Nabi Adam sampai keturunan Nabi Ibrahim (nama lain versi Timur dari tokoh nabi yang dikenal sebagai Abraham di Barat) dari garis Nabi Ismail (Ishmael), yaitu Nabi Muhammad bin Abdullah bin Abul Muthalib SAW, termasuk apa yang dibawa seluruh nabi Yahudi dan Kristen, dan dengan sendirinya mencakup berbagai budayanya; maka telah banyak terjadi perubahan di dunia yang membangkitkan berbagai evolusi dan revolusi peradaban manusia, termasuk ilmu-pengetahuan. Filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia timur, kemudian tercatat banyak mempunyai tokoh-tokoh besar cendekiawan dan filsuf Islam seperti tersebut di atas. Ini antara lain sebagai akibat dari berbagai ekspedisi kaum Muslim di masa itu yang dalam ekspedisinya ke berbagai penjuru dunia sampai ke Eropa, Asia, Afrika, dan lain-lain; juga telah banyak mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, filsafat, dan hal-hal lain, antara lain melalui buku-buku, naskah, catatan-catatan dari Yunani Kuno, Persia, India, dan Cina, yang diterjemahkan ke bahasa Arab terutama dari Abad VIII sampai IX Masehi (terutama di bawah pimpinan Kalifah Al Manshur dan Kalifah Harun al Rashid), dan kemudian mereka berikan pula tambahan sumbangan yang bersifat orisinal serta kemudian mendunia.

Timur (serta khususnya Timur-Tengah), dengan berbagai ilmu yang dipelajari dari jaman Yunani kuno, Mesopotamia, Cina kuno, Mesir kuno, India kuno, dan sebagainya serta yang mereka tambahkan ilmu-ilmu baru; telah sangat banyak menyumbangkan banyak hal ke peradaban dunia, terutama melalui buku-buku mereka yang diterjemahkan ke bahasa Latin. Ini mendorong Renaissance, Masa Modern, Revolusi Industri, jaman Pasca Modern, dan kemudian termasuk pula berpengaruh dalam arus besar ombak Globalisasi ke seluruh dunia untuk bertempur dan bercampur dengan beragam paham lain, termasuk agama2. Einstein sendiri sempat mengatakan bahwa, "Sains tanpa agama adalah buta, agama tanpa sains adalah pincang". Saya juga jadi ingat saat hampir lima belas tahun lalu, ayah saya memberitahukan saya tentang artikel di suatu majalah luar-negeri (saya lupa, Time, Newsweek, atau apa), diprediksikan bahwa satu saat tatanan masyarakat glob al akan menjadi tiga kelompok besar, yaitu Amerika Serikat, Eropa, dan Asia (yang dipimpin Cina, bukan Jepang); yang sekarang terbukti. Maka, sadarkah kita, bahwa kita sedang hidup di masa yang menarik dan penting?

Indonesia?

Harus ada perubahan.

Tidak ada komentar: