Keris Sangkelat Melawan Condongcampur

(Lanjutan Kisah Keris Sangkelat dan Crubuk)

Pada suatu ketika, wilayah kerajaan Majapahit secara merata dilanda wabah penyakit, yang meluas karena “pengaruh” keris pusaka kerajaan kiai Condongcampur. Setiap malam keris Condongcampur keluar dari tempat penyimpanannya dan menyebarkan penyakit ke tengah rakyat Majapahit. Jumlah korban yang meninggal sampai tidak terhitung. Permaisuri, Ratu Dwarawati yang beragama Islam tetapi menganut paham Islam abangan juga menderita sakit keras.

Atas perintah Sang Prabu semua punggawa diwajibkan mengikuti giliran ronda menjaga permaisuri yang sakit di dalam keraton. Pada suatu hari yang menerima giliran jaga adalah bupati Empu Tumenggung Supadriya dengan Tumenggung Supagati. Akan tetapi mereka berduapun sakit, oleh karena itu giliran jaga diwakilkan pada anak-anak mereka. Supadriya diwakili oleh putranya yang bernama Supa, sedangkan Supagati diwakili oleh puteranya bernama Jigja. Keduanya adalah empu pembuat senjata. Empu Supa membawa Keris Sangkelat, sedangkan Empu Jigja membawa keris Sabukinten, keris yang dibuatnya sendiri. Menjelang malam mereka bersama-sama masuk keraton menjaga di dekat tempat istirahat permaisuri.

Lewat tengah malam di dalam lingkungan keraton sudah sepi, tidak ada tanda-tanda orang yang bangun. Kecuali Empu Supa yang masih duduk sendiri berjongkok menghadap kamar istirahat permaisuri. Mendadak keris Condongcampur keluar dari tempat penyimpanannya dan mengeluarkan cahaya berkilauan dari tengah dalem prabayaksa, mendekati tempat duduk Empu Supa sambil mengibas, menantang keris Sangkelat untuk diajak perang tanding mengadu kesaktian. Pada saat itu juga keris Sangkelat bergolak amarahnya dengan cekatan keluar dari sarung yang masih di sisip dipinggang Empu Supa, mengeluarkan kesaktian Condongcampur, menjadi perang besar.

Keris Empu Jigja Sabukinten, ikut ”emosi”. Keluar dari sarungnya, langsung menghadapi Condongcampur dari samping.Akan tetapi Condongcampur waspada. Serangan keris Sabukinten dipatahkan mengenai lambung, terpelanting membengkok kembali masuk ke dalam sarungnya. Sangkelat masih bersemangat perang melawan Condongcampur satu lawan satu. Tidak lama, condongcampur limbung ditikam kena pucuknya dan putus se-luk, dengan tergesa-gesa masuk kembali ke tempat penyimpanan sampai menimbulkan suara berisik. Melihat musuh yang lari, keris sangkelat tidak mengejar tapi kembali masuk ke dalam sarungnya.

Pada waktu itu juga, sakit yang diderita oleh permaisuri terasa lebih ringan. Demikian pula penderitaan karena wabah penyakit di seluruh lingkungan kerajaan Majapahit hilang sekaligus seketika. Keesokan harinya Empu Supa bersama Jigja, setelah menerima hadiah dari prabu, langsung pulang bersama-sama. Jigja diajak singgah di rumah Empu Supa dan diberitahu tentang hebatnya peristiwa perang keris Condongcampur melawan Sangkelat dan Sabukinten sekaligus yang disaksikan tadi malam. Keris Sangkelat dihunus dan terlihat masih utuh tak berubah, hanya sekujur badannya barut-barut seperti dicakar oleh mata kikir. Akan tetapi keris Jigja Sabukinten ketika dihunus terlihat melengkung dan pucuknya sedikit patah. Kemudian, setelah diperbaiki kembali terpaksa dikurangi dua luk. Mulanya keris itu memiliki luk tiga belas, sekarang tinggal luk sebelas. Hal ini menurut cerita sebagai pertanda bahwa keris dapur Sabukinten memiliki kekuatan yang kecil, akan tetapi masih tetap bagus untuk dipakai orang dalam berdagang.

Atas saran Jigja, keris Sangkelat disimpan, karena apabila diketahui oleh Sang Prabu, tidak dapat tidak pasti diambil. Pagi itu juga Empu Supa beserta anak isterinya pulang kembali ke Tuban.

Babad Demak, R. Atmodarminto

Tafsir dongeng. Condong artinya cenderung atau rujuk, campur berarti bergabungnya suatu hal yang tidak sama. Keris ini menjadi suatu perlambang persekutuan antara kaum feodal Majapahit dengan kaum Islam ortodoks. Dalam hal ini, dapat diartikan sebagai perlambang bergabungnya kelompok yang memiliki kepercayaan berbeda.

Keris Condongcampur menjadi pusaka kerajaan Majapahit memberi pertanda bahwa persekutuan kaum feodal dan kaum Islam ortodoks telah mendapat restu atau diketahui oleh Sang Prabu. Dan keris ini setiap malam keluar dari keraton menebar penyakit kepada rakyat Majapahit sampai banyak yang mati, maksudnya bahwa kaum feodal dengan golongan Islam ortodoks yang telah mendapat restu dari Raja bersama-sama datang hendak melenyapkan gerakan rakyat dengan tindak kekerasan dan menyebar perselisihan, sampai menimbulkan kerusuhan dan banyak korban yang terbunuh.

Permaisuri, Supradriya dan Supagati, yang cenderung dekat dengan gerakan rakyat, yaitu yang hendak melenyapkan tatanan kasta, jatuh sakit karena perbuatan Condongcampur.

Keris sangkelat menjadi ibarat dari gerakan rakyat, dapat menandingi keris Condongcampur yang pucuknya putus se-luk. Maksudnya meski selalu di tekan dan dimusuhi oleh kaum feodal yang didukung Islam konservatif, gerakan rakyat tetap kuat dan semakin lama semakin jaya. Maka persekutuan kelompok Islam konvervatif dengan kaum feodal jadi putus, lantaran kelompok Islam tersebut berkhianat dan ganti siasat. Timbul niat kelompok Islam Koservatif untuk mendekati gerakan rakyat.

Keris sabukinten adalah merupakan kiasan bagi pemilik modal (saudagar) yang juga berperang lawan condongcampur dan mengalami kekalahan. Maksudnya adalah, kaum sodagar yang juga ingin ikut dalam kancah revolusi, setelah jatuh lumpuh, rela di belakang asal dirinya tidak musnah.

Supa meninggalkan Majapahit, pulang ke Tuban menyembunyikan keris Sangkelat maksudnya meskipun pada waktu itu gerakan rakyat agak berpengaruh, tetapi Supa terlanjur kehilangan harapan bahwa Majapahit yang konservatif dan sudah rapuh dapat diperbaiki menjadi kerajaan nasional yang bebas dari tatanan kasta. Bersama dengan itu kelompok Islam konservatif atau orthodoks yang berpusat di Giri dan Ampel, meski kemudian sekarang telah berganti paham dan haluan, akan tetapi Supa pun belum percaya, lantaran kaum Islam orthodoks memiliki watak pengkhianat dan sulit dipercaya, sehingga dikhawatirkan bergabung lagi dengan kaum feodal.

Tidak ada komentar: