Manajemen Kungfu Nayapraja Nusantara

Hingar bingar pernyataan para Naya Praja, dari coro hingga raja, setelah bencana selalu berakhir sebagai wacana, akhirnya sangat terpaksa menggiring saya pada kesimpulan, semua itu hanya untuk tebar pesona.

Tsunami di Daerah Istimewa Aceh, raja dan nayapraja sibuk berwacana sampai mengundang simpati para raja tanah seberang, duit bantuan udah berjibun, tapi berantakannya masih terdengar sampai sekarang.

Gebukan gempa di Daerah Istimewa Yogyakarta dijawab dengan lakon pindah kantor, akhirnya rakyat menunggu janji bantuan rumah sampai jontor. Tendangan dari PT Lapindo Berantas, penghasil lumpur panas, ditangkis dengan model wacana pembentukan TIMNAS ... segala jurus sudah keluar, ratusan milyar sudah ditebar, namun rakyat yang jadi korban ... tetaplah harus bersabar ...

Tonjokan banjir Didaerah Khusus Ibukota Jakarta, disikapi dengan tangkisan gaya lama,
akhirnya tetaplah rakyat yang menderita. Nayapraja hanya bisa bicara, kurang dana untuk urus banjir, situ-situ sudah tidak ada, janji manis tahun depan tiada banjir lagi. Saya kira ini lagu lama. Lengkap sudah bencana, di daerah istimewa.

Dari beraneka ragam peristiwa, sikap umum para nayapraja tetap sama, yaitu Manajemen Kungfu. Menangkis kalau ada yang memukul, menghindar kalau ada yang menendang, balas memukul kalau lawan dilihat sedang terhuyung-huyung. Manajemen By Kungfu alias Manajemen REAKTIF bukan PROAKTIF.

Ketika terjadi stimulan, maka yang timbul adalah respon cepat tanpa rencana. Dalam dunia persilatan, tangkisan setelah timbul pukulan, tendangan kalau lihat lawan lagi lengah. Kalau lawan lagi berdiri, kita tetap dalam posisi menunggu, sedikit gerakan akan disikapi dengan
respon tertentu.

Pembicaraan mengenai Banjir Kanal Timur, situ-situ di sekitar jakarta yang telah berubah menjadi bangunan mewah, baru ramai di bahas, ketika rakyat sudah terlanjur tenggelam oleh banjir bandang. Belum lagi nuansa solusi yang ditawarkan hanyalah uang ... uang ... dan uang ..., bukan penulusuran terhadap ketidak mampuan nayapraja dalam mengurus negara. Bukankah ini juga akibat karena tidak bertanggung jawabnya kerja para Abdi Negara berwenang mengurus Rencana Tata Ruang Wilayah ? Sodara-sodara, berapa hektarkah jalur hijau yang mestinya merupakan daerah resapan air, yang sudah disulap menjadi perumahan mewah ? Bukankah itu akibat ulah oknum nayapraja sontoloyo yang silau oleh tumpukan duit dari para cukong pengembang perumahan ? Para pengembang, mempertinggi tanah di areal perumahannya, tanpa pernah menjalankan aturan untuk membuat saluran air untuk perumahan disekitarnya. Dari pada membikin saluran air, mending urusan dengan para nayapraja pemeriksa, oknum dibayar, urusan lancar, rakyat sekitar perumahanlah yang akhirnya ketika banjir jadi bubar ...

Hai para nayapraja sontoloyo ...

Aku yang bodoh, hanya mampu menulis di internet. Aku hanya rakyat jelata, bukan siapa-siapa, akan tetapi tergerak, ingin memberi sedikit peringatan kepadamu, barangkali telingamu cukup lebar untuk mendengar. Hai raja tanah nusantara ... ingatlah ketika merespon stimulan yang ada, tolonglah pikirkan empat hal penting (1) mulat sarira - cermin diri - kesadaran diri, (2) nurani, (3) weruh sakdurunge winarah - imajinasi - prediksi dan (4) integritas pribadi.

Ketika memilih respon, sudahkah anda bercermin diri ? sedang sadarkah anda ? Sudahkan anda amati dengan seksama gerak pikiran anda sendiri, apakah benar untuk mencari solusi, atau tersisipi kehendak mencari keuntungan pribadi ? Amati dengan seksama setiap kata yang terucap, akankah mampu dilaksanakan ataukah akan kandas dalam tataran wacana ? Amati dengan seksama setiap langkah yang telah diambil, apakah untuk kemaslahatan rakyat ataukah untuk mencari kesempatan dalam kesempitan yang merupakan sikap yang teramat bejat ? Renungkan dalam-dalam MAMPUKAH anda mengelola negara ini ? Ataukah anda ketika bertarung dulu, Merasa Bisa ... lalu bersilat lidah bermain kungfu ... menelikung ... berkhianat ... , dan sekarang anda baru tahu dengan sebenar-benarnya, bahwa ANDA tidak bisa merasa. Merasa Bisa namun Tidak Bisa Merasa. Rumangsa bisa ning ora bisa rumangsa. Kedudukan diraih, bukan karena nurani, melainkan hanya dengan pikiran nekat untuk ego pribadi.

Ketika memilih respon atas kejadian ... apakah anda sudah berdialog dengan nurani anda sendiri ? Sesuaikah dengan kaidah-kaidah alam terkait dengan hubungan antar manusia yang tercantum di berbagai agama ? Ketika memilih respon atas kejadian ... apakah anda mampu memprediksi atau berimajinasi terhadap dampak janji yang anda ucapkan, jangan sampai bicara gampang ngasi duit 30 juta setiap keluarga, kepentok karena tak mampu memprediksi kesulitannya implementasinya. Rakyat akhirnya tahu bahwa janji anda hanyalah tebar pesona ! Ketika memilih respon atas kejadian ... apakah sudah memperhitungkan integritas diri pribadi ... apakah anda mampu memenuhi janji yang telah anda ucapkan ?

Anda sedang mengurus negara besar bung ! Bukan kelurahan. Seorang raja ... berada di pusat pusaran negara ... kesalahan hitung di pusat lingkaran walau hanya sekian derajat ... akan berdampak luas di seluruh Nusantara. Pikiran-pikiran anda jadi acuan, ucapan anda menjadi pegangan, tindakan anda jadi panutan.

Kalau kaidah sederhana dalam mensikapi stimulan untuk menghasilkan respon yaitu kesedaran diri, nurani, imajinasi dan integritas pribadi, ini tak mampu anda laksanakan ... rusaklah sudah negara kita.

Para Danyang Tanah Nusantara berhasil mengobrak-abrik Nusantara ... untuk menyusun tatanan baru sesuai janji 500 tahun yang lalu, waktunya adalah Lawon Sapta Ngesthi Aji.

Tancep kayon.

Tidak ada komentar: