"Mardi Siwi" - Mendidik Anak

Ketika anak pertama kami berumur hampir dua tahun, dia mulai bisa ngomong. Lalu bulan-demi-bulan, pertanyaan demi pertanyaan, dia ajukan kepada kami. Sampai suatu saat saya tersentak dan tersadar bahwa saya tidak pernah mempelajari hal yang penting dalam hidup, yaitu bagaimana menjadi seorang Ayah !

Untuk jadi profesional, saya menghabiskan 5 tahun di Bandung. Ditambah 5 tahun belajar di tempat kerja, dilanjut magister manajemen. Hampir 15 tahun, ilmu saya kumpulkan, baru jadi seperti sekarang ini. Lalu ilmu itu, saya gunakan untuk mencari nafkah, sehingga dapat”memelihara” apa yang dititipkan oleh Sang Pencipta kepada saya.

Empat belas tahun untuk mencari ”ilmu dunia”, tapi saya tidak mampu mengingat, berapa tahun yang saya sediakan untuk belajar menjadi seorang Ayah. Belajar untuk membangun ”jiwa” keluarga ? Dalam perenungan, saya berkesimpulan, sebagian besar energi, hanya terfokus untuk membangun “raga” keluarga, tetapi saya belum pernah belajar, bagaimana membangun ”jiwa”nya. Hasil perenungan saya simpan dalam bathin, seraya berdoa, agar mendapatkan jawabannya.

Suatu saat, kami sekeluarga berwisata ke Taman Mini Indonesia Indah. Setelah lelah berputar-putar, kami beristirahat di Sasana Adi Rasa Samber Nyawa. Di bawah sasana itu ternyata ada perpustakaan lengkap, sebagian bukunya bertopik budaya. Manajernya bernama bapak Adi Suripto. Entah bagaimana alur obrolan, hingga kami sampai pada obrolan “mardi siwi” atau mendidik anak. Dan saya mohon nasihat dari beliau, semoga dapat menjadi bekal untuk bisa menjadi ayah yang baik, ayah yang mampu membangun jiwa dan raga keluarganya. Lalu beliau nembang pangkur, dikutip dari Serat Wedhatama :

Mingkar-mingkuring angkara
Akarana karenan mardi siwi
Sinawung resmining kidung
Sinuba sinukarta
Mrih kertata pakertining ilmu luhung
Kang tumrap ing tanah jawi
Agama agaming aji

Dalam “mardi siwi” atau mendidik anak selalu terjadi perasaan mingkar-mingkur atau dualisme. Kita menginginkan anak seperti yang kita inginkan, sementara itu, harus kita sadari bahwa sang anak memiliki nasib atau garis tangannya sendiri. Karena itulah, hal penting yang perlu diusahakan ketika mendidik anak adalah menjaga lisan sehingga yang keluar bagai ”resmining” atau indahnya nyanyian, enak di dengar, tidak kasar, usahakan secara terstruktur dan dipikirkan sebaik mungkin. Dan dari sekian banyak ilmu yang ada di dunia, maka yang perlu diajarkan adalah ilmu luhur yaitu ilmu agama yang menjadi pegangan dari sang ayah.

Jinejering Wedhatama
Mrih tan kemba kembanganing pambudi
Mangka nadyan tuwa pikun
Yan tan mikani rasa
Yekti sepi asepa lir sepah samun
Samangsane pakumpulan
Gonyak ganyuk ngliling semi

Kitab Wedhatama disusun dengan tujuan untuk mengembangkan budi pekerti. Tanpa budi pekerti, maka walau sudah tua dan pikun, apabila tak paham tentang ”rasa”, maka dia bagaikan sepahan tebu, hilang manis tiada berguna. Orang yang tanpa ”rasa” jika berada di masyarakat, selalu akan berbuat hal-hal yang memalukan.

Saya pulang dengan catatan dua tembang serat wedhatama tadi. Dan mulai bertekad, tidak hanya membangun ”raga” keluarga, akan tetapi juga ”jiwa” mereka. Tapi untuk bisa mengajar, ternyata sang ayah harus belajar terlebih dahulu membasuh budi pekertinya sendiri. Budi pekerti sang orang tua, akan menjadi cermin dan suri toladan anak-anaknya.

Ah... ternyata rangkaian tembang di atas,memang mudah diucap, tetapi sangat sulit untuk dilaksanakan. Bagaimanapun juga, saya akan usahakan, walau menghabiskan waktu bertahun-tahun, seperti lama waktu yang dibutuhkan untuk menjadi system designer. Saya sedang dalam perjalanan panjang, belajar jadi Ayah bagi ketiga anak kami. Aku akan berusaha mengembangkan budi pekerti hingga meraih ”rasa”, sehingga ”rasa” ini memancar dan membangun ”jiwa” mereka.

Semoga Gusti Allah berkenan memberi sinar suciNya, agar hamba dapat menjalankan swadharma seorang ayah, yang mampu membangun ”jiwa” keluarganya.

Salam Hangat,



Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: