Mengejar Persepsi Hilangkan Substansi

Sodara-sodara sebangsa dan setanah air,

Pola pemilihan langsung ternyata menumbuhkan ekses negatif, berupa gaya memerintah model tebar pesona di kalangan nayapraja nusantara. Dari hari ke hari, kerajaan di kelola bagaikan sedang musim kampanye – mengutamakan persepsi hingga hilang substansi. Keinginan mempertahankan kekuasaan yang kuat, akhirnya dijawab dengan usaha-usaha sepele untuk membeberkan dengan lantang apa-apa yang telah dilakukan oleh kerajaan, sambil menutupi dengan erat dan menyelesaikan secara “adat” permasalahan-permasalahan substansial yang dapat meruntuhkan bangsa.

Model pemilihan langsung ini, menyebabkan petruk-petruk yang punya duit berlebih, dapat membeli suara sehingga dapat memenangkan pilkada untuk menjadi ratu. Petruk jadi ratu. Atau petualang-petualang politik, asal suara lantang dan berani menentang , bisa petantang petenteng jadi menteri di departemen teknis, dimana dia sendiri tidak memahami seluk-beluk menjalankan roda birokrasi yang begitu kompleksnya, sehingga dengan muka tebal, tetap membusungkan dada ketika harga beras menjadi naik tak terkendali atau pembunuhan masal terjadi, akibat gagalnya mengelola transportasi. Sang menteri, kalau bicara, bak pakar yang ahli di segala bidang, kecuali bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Guyuran anggaran negara ditaburkan hanya untuk proyek-proyek dalam rangka menaikkan popularitas, bukan proyek yang memang diperlukan untuk menolong bangsa ini dari keterpurukan. Dan ketika kegagalan terjadi, tentu selalu tersedia kambing hitam untuk menutupi ketidak mampuannya.

Hai … petruk-petruk “kaya” yang sekarang jadi ratu, ingatlah ! Jikalau suatu pekerjaan dilakukan oleh bukan ahlinya, niscaya bencana akan di depan mata.

Pekerjaan selevel menteri atau bupati, tentulah harus dikelola oleh orang-orang yang sudah ada di tataran “hakikat” … syukur-syukur sudah sampai tahap “makrifat”. Kalau dari jalur birokrat … tentulah dia sudah harus melaksanakan syariat - ngengger selama bertahun-tahun untuk memahami mesin birokrasi itu bekerja. Bukan seperti beberapa kepala preman jalanan yang jadi Bupati, tentunya “mumet” pusing tujuh keliling ketika harus memahami Keppres 80/2003 tentang Pengadaan barang/jasa pemerintah. Jadilah asal tubruk melakukan penunjukan langsung sehingga terpaksa masuk bui, atau terpaksa menggunakan prinsip “tiji tibeh” – mati siji mati kabeh, untuk menyelematkan jabatan sebagai menteri, sehingga kesalahan dapat ditutupi secara “adat”.

Prinsip “Beginning with the end on mind” berupa visi misi yang berdengung keras saat awal kampanye, program seratus hari yang dihapal oleh sang raja ketika berpidato, sekarang nyaris tak terdengar. Jargon proaktif – hanya diimplementasi dengan langkah-langkah reaktif untuk melakukan tebar pesona. Kata-kata bijak “Understand then to be understood” akhirnya menjadi rengekan cengeng dengan menerangkan keberhasilan-keberhasilan yang dilakukan tapi buta tuli terhadap bertumpuk masalah yang makin menggunung. Amburadulnya prioritas program pembangunan hanya dijawab dengan kilah bahwa kabinet sekarang mewarisi tumpukan masalah masa lalu. Lalu kata-kata berbau sinergi “bersama kita bisa” hanya menjadi hiasan bibir belaka. Koalisi sontoloyo yang konon dibangun demi persatuan dan kesatuan bangsa, buntut-buntutnya nanti akan terbuka kedok bahwa itu hanya akal-akalan bejat anggota gerombolan biang kerok, nayapraja pengkhianat.

Pada akhirnya, setelah mengalami krisis ekonomi, dilanjutkan oleh krisis politik, lalu krisis legitimasi berupa hilangnya kepercayaan terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, maka pemerintahan “bersama kita bisa ini” telah sukses mengantarkan bangsa indonesia memasuki Krisis Motivasi.

Krisis motivasi ditandai oleh hilangnya semangat masyarakat dalam berkontribusi terhadap negara. Negara hanya mengurus proyek-proyek besar yang tak kunjung selesai, sedangkan di tingkat rumah tangga, negara seperti tak punya arti lagi.

Lalu apa solusinya … menghadapi para penipu canggih perekayasa persepsi publik itu ? Menurut saya sodara-sodaraku, sulit untuk memperbaiki keadaan ini, perbaikan keadaan hanya menghasilkan rumah tambal sulam tak karuan karuan. Satu-satunya jalan adalah membuka jalan bagi percepatan kehancuran. Bukankah untuk membuat rumah baru … maka rumah lama harus dirombak total ? … pekerjaan sudah di mulai … baik oleh mahluk yang terlihat maupun mahluk "maya" yang ada disekitar kita.

Pernyataan … aneh kan ?!


Salam
Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: