Tobat

Tobat bisa dilaksanakan dengan “memahami” dampak perbuatan nista yang dilakukan, diiringi oleh penyesalan yang mendalam dan melakukan langkah-langkah nyata untuk memperbaiki kesalahan yang dibuatnya. Anda sudah lihat, cucuran air mata Sang Raja didampingi gerombolan Nayapraja di Masjid Raya ? Konon itu dilaksanakan dalam rangka melakukan tobat nasional.

Tobat ? Ha..ha..ha.. kalau mau tobat, maka Si Raja Ragu : (1) harus mampu memahami rangkaian perbuatan papa nista yang telah dilakukan. (2) Harus mengingat-ingat dengan jelas, rencana pengkhianatan yang dilakukan atas nama strategi politik dalam meraih kekuasaan. (3) Paham dengan jelas, dosa kerja tebar pesona yang menghabiskan anggaran dari hasil menghisap darah dan keringat rakyat dari peningkatan harga minyak. (4) Melakukan mulat sarira - evaluasi diri, dengan mengingat masa lalu ketika muncul keinginan bertarung meraih kursi raja, ketika itu PIKIRAN ANDA yang penuh ego pribadi, ternyata telah menyingkirkan suara-suara hati ANDA SENDIRI juga sinyal-sinyal alam YANG TELAH DIPAMPANGKAN DENGAN JELAS beberapa kali pada ANDA, baik melalui mimpi maupun kejadian kebetulan tak masuk akal, Habis sudah wisik dan sanepan yang dikirim untuk ANDA, agar tidak meraih kekuasaan jahat melalui cara khianat. Ego Pribadi mengalahkan Nurani.

Penyesalan itu haruslah ada. Bagaikan sebuah roda, penyimpangan kecil di pusat kekuasaan tentu akan berimbas besar bagi seluruh Nusantara. Akibat rekayasa persepsi canggih, rakyat nusantara jadi tertipu dan salah pilih pemimpin, akhirnya mengalami derita tiada akhir. Dosa-dosa besar yang diabaikan sang raja, dan tak pernah di"bayar", tentu akan berkembang bunga dan hutang pokoknya. Lalu menjadi dosa tak berampun, yang membuka peluang bagi para bhuta kala dan danyang-danyang tanah nusantara untuk melegitimasi aksinya, memulai kekacauan dengan cara berperang tanpa balatentara "nglurug tanpa bala", tak tersentuh walau tanpa ajian dan mereka akan menang walau tak akan bangga menepuk dada karena tidak bertujuan untuk tebar pesona.

Kalau penyesalan sudah timbul, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan rencana aksi yang tepat. Tanpa menyelesaikan dosa-dosa itu, maka duka terus datang silih berganti, laksana ombak laut yang datang dari laut tak bertepi. Dosa khianat kepada rakyat, tidak dapat diganti oleh duduk bersimpuh di rumah Tuhan sambil mencucurkan air mata berember-ember. Apalagi dibalik itu, masih terbersit niat nan jahat yaitu strategi mengubah persepsi publik, sehingga Raja Ragu Tak Mampu, seolah sedang ditindas oleh alam sehingga perlu dikasihani rakyat. Hentikan sudah niat seperti itu, rakyat jelata mungkin tak merasa permainan rekayasa itu. Tapi Alam dan Sang Maha Tahu ... apatah dapat direkayasa ?

Sudahlah ! Jangan lagi bencana alam dijadikan peluang baru untuk membalik persepsi untuk dapat keuntungan pribadi. Rencana aksi yang tepat terkait dengan tobat yang dimaksud, harus bersifat substansial. Bukannya aksi cepat bencana gempa, pindah kantor ke istana yogya, megumbar janji manis 30 juta, setelah itu tak ada apa-apa. Aksi cepat membentuk berpuluh-puluh Tim Nas, akan tetapi kerjanya lambat dan hasilnya nyaris tak terdengar. Kalau ada masalah, jangan segera lemparkan bola lalu cuci tangan. Bung, tobatlah yang benar ! Anda dipercaya sebagai penguasa tanah Nusantara, lakukan tindakan yang dianggap perlu untuk mewujudkan janji-janji anda dulu, karena Janji Adalah Hutang !

Akhir kata, usulan saya untuk Raja dan Nayapraja, pahami akibat dari dosa yang telah dibuat, timbulkan penyesalan yang mendalam dan selesaikan rencana aksi yang substansial bukan hanya tebar pesona. Tindakan substantif nyata, mungkin lebih berguna, bagi rakyat nusantara, dari pada linangan air mata, sambil nanggap tukang obat perangkai ayat.

Terkutuk sikap tebar pesona, Merdeka !!!

Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: