Bima Pergi Ke Sumur Dorangga

Awignam Astu Nama Siddham

Syahdan sang prabu dari Gajahoya, Sri Maharaja Driyodhana, sedang merundingkan sesuatu dengan Sri Dang Hyang Drona. Nampaknya sangat penting hal yang mereka bicarakan, sebab para pujangga, resi, pendeta Syiwa, pendeta Buddha, menteri, pejabat tinggi negara, kepala daerah dan pegawai rumah tingga istana tak ada yang diikutsertakan dalam pembicaraan itu. Berkata Driyodhana, bahwa ia bermaksud mengakhiri hidup Sang Bima yang sedang berguru pada Drona untuk memperoleh ilmu kamoksan.

Tak lama kemudian datanglah Raden Wrekodara, yang disambut Diryodhana dan Dang Hyang Drona. Bahagia, anakku Raden Wrekodara, sungguh bahagia anaknda datang kepada saya, sebab saya akan memberikan surga kepadamu. Carilah anakku, air suci, Banyu Mahapawitra, agar saya dapat menyampaikan kepadamu kata-kata bertuah tentang pelepasan raga. Adapun tempat Banyu Mahapawitra itu di sumur Dorangga.

Berkata Bima, Raden Wrekodara “Selamat tinggal guruku, saya berangkat mencari Banyu Mahaprawitra”. Segera ditinggalkannya Gajahoya, berbagai kesulitan bahaya dan kesukaran ditemui di perjalanan. Melintas jurang curam, tebing terjal, cadas-wadas – ia langsung menuju ke sumur Dorangga.

Tanpa ragu ia masuk, tidak takut, tidak gentar. Tapi Banyu Mahapawitra tidak ia temukan. Sumur yang kotor dan sunyi itu ternyata dihuni ular sejodoh yang sangat ganas. Kedua ular membelit, menggigit dan menghisap Bima, tapi tak sedikitpun menyebabkan luka pada tubuhnya. Segera ulur sejodh itu ditusuk dengan pancanhaka (panca=5, naka=kuku). Darah ular menyembur, leher naga robek, keduanya mati oleh keperkasaan Sang Bima. Segera di lempar bangkai ular itu keluar semur. Terkejutlah dua pengiring Sang Bima, bernama Si Gagakampuhan dan Si Tuwalen, karena terkena bangkai naga, mereka gemetar dan meremang bulu kuduk mereka.

Lalu keluar Sang Bima dari sumur Dorangga dan segera ia sampai ke atas. Kedua bangkai naga diangkut oleh para pengiring Raden Wrekodara dan segera meninggalkan tempat itu. Belum jauh perjalanan, tiba-tiba dari jauh terdengar jeritan memanggil Sang Bima, dan dua orang bagus dan cantik tiba-tiba datang, lalu menangis dan menyembah. Dengan hormat Bima berkata ”Saya bertanya kepadamu, pria tampan dan putri cantik, dari mana kalian datang?” Bidadara dan bidadari itu menjawab ”Di bawah duli paduka Raden, kami memberi tahukan, bahwa sesungguhnya kami terjadi dari naga sejodoh. Radenlah yang melukat (menyucikan) kami dari mala petaka. Kami mohon diri untuk kembali ke Suralaya”. Lalu melesat bidadara dan bidadari itu ke antariksa. Raden Wrekodara sangat heran, dan ia lanjutkan perjalanannya.

Rupanya bidadara dan bidadari itu telah lama menderita duka nestapa menjadi naga. Dwidasya warsa, dasya = sepuluh, dwi = dua, warsa = tahun, dua belas tahun mereka menderita. Sekarang mereka cantik dan bagus seperti sedia kala. Si Syarasambaddha dan si Harsanandi.

Sementara itu tertawa dan bersukahatilah Sri Maharaja Driyodhana dan Sri Dang Hyang Drona. Berkata Sri Dang Hyang Drona ”Sekarang matilah Si Bima digigit naga. Ini terlihat dalam Puja saya, namanya puja Kuncang kancing, sebab saya awas dalam penglihatan”.

Sekonyong-konyong datang Sang Wrekodara, menghadap Sri Dang Hyang Drona dan mempersembahkan kedua bangkai naga kepadanya. Terkejutlah mereka melihat wujud naga yang sebesar pohon kelapa, menyeringai gigi taring dan membelalak kedua matanya.

Lalu berkata Sang Wrekodara, ”Tidak saya temukan Banyu Mahapawitra dalam sumur Dorangga, yang kotor dan sunyi ini. Saya menemukan dua ekor naga, yaitu yang saya persambahkan ini. Kedua naga menggigit dan membelit dan menghisap saya. Kedua naga saya tusuk dengan Pancanhaka sempai mati, ternyata mereka adalah bidadara dan bidadari.

Menjawab Sri Dang Hyang Drona, ”Kelirulah saya, anakku Sang Wrekodara. Tidak dalam sumur Dorangga air suci itu. Kelihata dalam puja saya, bahwa Banyu Mahapawitra ada di lapangan Andadawa. Segera berangkatlah, jangan membuang-buang waktu, anakku Sang Wrekodara dan waspadalah. Akan kamu temukan, Banyu Mahapawitra itu.

Om Saraswatyai namah
Om gemung Ganapataye namah
Om Syri-Gurubhyo namah

Om hormat dan puji kepada Saraswati,
Om gemung, hormat dan puji kepada Ganapati
Om, hormat dan puji kepada guru-guru yang terhormat,

*** Disarikan dan diolah kembali dari
*** Buku Nawaruci
*** di Indonesiakan oleh SP Adhikara,
*** Penerbit ITB Bandung, 1984.

Dalam cerita di atas bidadara Syarasambaddha dan bidadari Harsanandi dikutuk menjadi dua ekor ular sejodoh karena membuat kesalahan. Tak dijelaskan siapa yang mengutuk dan apa kesalahannya sempai dikutuk menjadi dua ekor naga itu. Untuk menjawab kedua pertanyaan tadi, perlu kita ketahui dulu bahwa bidadara-bidadari tugasnya melayani Batara Guru pada semua acara keagamaan, misalnya menyanyikan kidung, menari dan menyiapkan bunga tabur. Mungkin Syarasambaddha dan Harsanandi melaluikan tugas mereka karena terlalu asik berkasih-kasihan sebagai suami istri seperti dua ekor naga, sehingga dikutuk oleh Batara Guru menjadi naga sejodoh dan tinggal dalam sumur Dorangga.

Sumur adalah tempat air dan air adalah lambang kesucian. Tetapi dalam sumur Dorangga terdapat dua ekor naga sejodoh Syarasambaddha dan Harsanandi. Kalau di analisa dari nama-nama Dorangga, Syarasambaddha dan Harsanandi, maka kita dapat memahami apa yang tersirat dari perintah Drona kepada Bima.

Menurut kamus jawa kuno Zoetmulder arti kata dora = bohong, palsu, dusta. Sedangkan angga=awak, diri. Syarasambaddha asal kata syara=panah, jenis alang-alang atau rumput (dipakai untuk panah. Sambaddha = (sansekerta – hubungan pertalian, hubungan kepada, hubungan pribadi, kekerabatan, persahabatan, kerabat, sanak saudara, teman). Lalu Harsanandi asal kata harsa = kesukacitaan, kesenangan dlsb dan nandi = (nandini?) lembu putih yang dapat memberikan segalam permintaan, biasa juga dikaitkan dengan Batara Wisnu.

Dari analisis kata-kata di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada yang tersirat di belakang perintah Resi Drona kepada Bima : ”Wahai Bima, kamu adalah orang yang ditipu (Dorangga), sebab dalam sumur tak kamu temukan air suci, melainkan naga sejodoh (syarasambaddha=panah seikat, naga-naga seikat) yang sedang hidup bersukacita melestarikan jenisnya”. Sebagai Brahmana kerajaan di harus melaksanakan perintah Driyodana, tetapi sebagai seorang guru, dia sangat sayang terhadap Bima.

Atau pula mungkin maksud pengarang adalah memberikan petunjuk pada kita bahwa untuk mencari kesucian atau Banyu Mahapawitra maka yang di”bunuh” pertama kali adalah keterikatan terhadap nafsu dan keinginan-keinginan terhadap kebendaan.

Untuk menjadi seorang ksatria - pemimpin - pengelola pemerintahan, maka nafsu rendah dan birahi harus ditundukkan terlebih dahulu. Siapa yang bisa menundukkan ? Tiada lain adalah diri sendiri, bukan undang-undang ataupun fatwa-fatwa, bhisama-bhisama pemimpin agama. Yang mungkin saja seperti Drona, yang terkadang memberi petunjuk yang 'menyesatkan'.

Begitu banya tafsir yang dapat digali dari sebuah cerita. Semoga rekan-rekan dapat mengkaji cerita, mencoba merangakai pengalaman dan pengetahuan untuk dapat memeras mutiara-mutiara yang ada dari sebuah cerita. Mutiara itu, hanya dapat dipungut dengan mempercayai maksud baik dari sang pengarang.

Pada kesempatan berikutnya, jika ada jodo, saya akan datang lagi dengan cerita lanjutan yaitu Bima Pergi Ke Lapangan Andadawa.

Salam hormat,

Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: