Jnana, Wirya dan Artha

Di jaman sekarang ini, sudah terlalu banyak orang yang bicara tentang agama. Bicara lantang tentang kulit ’sarengat’-nya saja, tapi makin langka orang yang menyelami inti pokoknya, bahkan sudah sedikit Brahmana yang mampu memberi suri toladan yang baik. Berkutbah di media masa dengan over acting, kalau melantunkan ayat, yang penting indah, suara berirama dandanggula palaran.

Sodara-sodaraku, jika engkau ingin mencontoh perilaku Sang Nabi, oh... rasanya terlalu muluk kehendak itu, karena niscaya engkau tak akan mampu. Apalagi itu dilakukan hanya untuk mendapatkan pujian. Mulailah belajar budaya Nusantara, jati diri sejatimu, sedikit saja sudah cukup.

Menurut pendapatku yang bodoh ini, akan lebih baik bertekun mencari nafkah. Karena kita dititahkan demikian. Apakah sebagai nayapraja, sodagar ataukah petani. Aku sendiri tidak paham tata cara Arab, bahkan budaya Nusantara-pun belum sepenuhnya dikuasai, namun tulisan ini terpaksa disusun, karena semata-mata kewajiban sebagai ayah yang harus mendidik anak-anaknya.

Waktu muda, pernah juga mempelajari agama walau sebentar. Dalam relung hati terdalam, sebenarnya takut terhadap hari esok ketika datang ajal menjemput. Belum selesai berguru, terhenti karena harus mengabdi. Tidak sempat sembahyang, karena dipanggil menghadap yang memberi makan. Bila tak segera, bisa mengurangi kinerja. Baru belajar bekerja, bagai kiamat setiap hari. Rusak dan bingung hatiku. Ragu-ragu tindakan saya. Lama-lama terpikir, karena pendidikan formal memang sudah di dunia teknologi informasi, apabila jadi petugas juru doa kurang pada tempatnya. Ataukah ingin menjadi Ustad, hal itu bukan bidang saya. Lebih baik berpegang teguh, tata peraturan kehidupan. Menjalankan jejak para leluhur, di jaman dahulu kala hingga masa kini. Akhirnya tak lain hanyalah mencari nafkah.

Anakku, semoga engkau bisa membuat hidupmu berarti dengan memperhatikan tiga landasan kehidupan – jnana, wirya dan artha. Wirya berarti keluhuran derajat atau pangkat, artha artinya kesejahteraan dan jnana artinya memiliki ilmu pengetahuan. Bila tidak memiliki satu dari tiga itu, habislah arti sebagai manusia, masih lebih berharga daun jati yang telah kering. Akhirnya menderita menjadi peminta-minta dan gelandangan.

Ketahuilah cara mencapai paling tidak salah satu dari ketiga hal di atas, lalu hayati aturan dengan bijaksana. Kalau sudah demikian, maka inti pribadi akan muncul, terlihat nyata tanpa penghalang. Tabir akan tersingkir, terbukalah ’rasa’ sejati seakan sayup-sayup sampai. Terang segala keadaan, tampak bagai tak terbatas. Itulah keadaan yang disebut mendapat anugrah bimbingan dari Hyang Widhi.

Manusia sejati, gemar dan membiasakan diri di alam sepi. Di kala tertentu, digunakan untuk mempertajam dan membersihkan jiwa. Caranya dengan berpegang pada kedudukan sebagai Sang Ksatria, bertindak rendah hati, pandai bergaul, pandai memikat hati orang lain, selalu ingin membuat dunia ini rahayu, itulah orang yang disebut menjalankan agama.

Namun sekarang ini tidaklah demikian. Sikapnya anak muda apabila mendapat petunjuk yang nyata, tidak pernah dijalankan. Lalu menuruti kehendak hatinya. Kakeknya pun diberi pelajaran dan kutbah tentang agama.

Salam Hangat

Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: