Ada saatnya keinginan yang muncul dari keheningan, melahirkan perasaan duka namun penuh harap, agar fajar cerah segera tiba. Akhirnya, ada setitik keberanian untuk mengutarakan petuah-petuah, barangkali dapat menyingkirkan hal-hal yang salah. Petuah bukan untuk menyombongkan diri, melainkan semata-mata berasal dari harapan barangkali dapat diperas dan diambil sarinya, untuk perbaikan di tanah Nusantara.
Harus selalu diingat, di jaman Kala Bendu ini, kurangilah nafsu pribadi. Tanpa mengurangi nafsu pribadi, maka pasti akan terbentur kerepotan, yang hanya membuahkan perbuatan buruk. Mudah-mudahan tetap mampu teguh, senantiasa berbuat menuju kepada hal-hal yang baik. Dengan demikian, mampu memberi perlindungan kepada siapapun juga, melenyapkan angkara murka, membuang jauh perbuatan tak senonoh.
Jangan menjadi orang bertabiat aji mumpung, hilang kewaspadaan, dan orang seperti ini, sudah dipastikan kerepotanlah yang selalu dijumpai, duka nestapa dan bencana selalu mengikuti hidupnya, hati senantiasa ruwet karena selalu berdusta. Budayanya lenyap, kekuatan sirna dan ceroboh. Apa yang difikirkan hanya hal-hal yang berbahaya. Sumpah janji hanyalah di bibir bealak, tidak seorangpun akhirnya mempercayainya. Dan sudah barang tentu, hanya menuai kerepotan dan bencana saja.
Aku Ki Jero Martani,
Sudah pernah bicara dan bertemu muka, dengan Sang Raja Tanah Nusantara, di hotel Dharmawangsa. Saat itu, kami coba bicara, barangkali didengar nasihat orang tua yang sudah pelupa, tak berdaya. Suara bagai angin lalu, membuat hati jadi kelu. Kini tinggallah berdendang, dandang gula sebagai tembang, hasil gubahan nenek moyang dahulu kala, beratnya hidup, bak orang dimadu saja.
Sang penguasa wawasannya kerap berubah-ubah, meningkatkan kerepotan apapun yang hendak dijalankan. Dan makin repot, karena azab jaman kala bendu, makin jadi angkara murka manusia. Angkara murka bertiwikrama, rasanya tidak mungkin dikalahkan oleh kebaikan budi dan hati, bila memang belum saatnya tiba, bahkan makin jadi luar biasa.
Sementara itu, keadaan sudah semakin tidak karu-karuan, penghidupan semakin morat-marit, ketentraman jauh dari harapan, kesedihan dan ratapan sudah jadi santapan. Segala tata cara hancur lebur, seolah-olah hati dikuasai ketakutan. Di kala ini, yang beruntung adalah ular berkepala dua, sebab kepala serta buntutnya dapat dimakan.
Gunung-gunung digempur, yang besar-besar dihancurkan, meski demikian tak ada berani yang melawan atau bahkan sekadar memperingatkan. Tak berani melawan karena apa ? Karena takut kalau disemprot ular berbisa, racunnya bagaikan air panas.
Akan tetapi sodaraku, camkanlah !
Lengkung pelangi yang megah, berwarna kuning, biru dan merah, hanyalah cahaya pantulan air. Menurut Kanjeng Nabi, itu bukanlah Gusti Allah yang sebenarnya.
Mohon diingat-ingat, kelak akan tiba masanya, ada wewe putih (setan putih), bersenjatakan tebu hitam, akan menghancurkan wedhon (pocongan setan). Akan tiba waktunya kuasa Gusti Allah membuka jaman kebaikan, tidak mungkin dihindari lagi. Tak akan bisa di tahan lagi, dimana ”setan putih” menyapu bersih ”pocongan setan”.
Setelah ”pocongan setan” di sapu bersih, maka di tanah Nusantara, akan tumbuh pemikiran dan kehendak hati, yang hanya berdasarkan ketenteraman sampai ke anak cucu. Tanah Nusantara dihormati dimanapun, negara rukun sentosa. Luka-luka akan hilang, peresaan prihatin berobah menjadi gembira ria.
Saat itu, diibaratkan, orang berjalan, menemukan pundi-pundi berisi emas sebasar bokor, tidak diambil. Tak ada yang berbuat curang, peliharaan diikat, namun tiada yang dicuri. Yang tadinya spesialis berbuat angkara murka, akhirnya ikut pula berbuat baik. Perasaannya terbawa oleh kebaikan budi. Kebaikan dapat menghancurkan sang durjana. Perbuatan tercela ditinggalkan, peraturan-peraturan pemerintah ditaati kembali, semuanya rajin dan tekun melaksanakan swadharma, tugas pokok dan kewajibannya masing-masing. Rakyat jelata, pedagang di pasar, nayapraja, dan brahmana, semuanya memiliki hati yang sama, tak ada yang saling mencela. Keadaan seperti itu akan terjadi di seluruh negeri.
Kembali seperti dijaman dahulu kala, teguh menjalankan dharma dan berhati baja.
Salam Hormat,
Ki Jero Martani
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar