Keris Sangkelat dan Crubuk

Dandanggula

Sunan Kalijaga angadika aris / sun arani keris dapur sangkelat / dene kris abang warnane / nanging iki tan patut / dipun enggo wonglaku santri / iki pantes kagema / mring patingginipun / negara ing pulo Jawa / wus pinasti besuk dadi pusaka ji / kang mengku nusa jawa //

Lah pundinen jebeng ingkang becik / bokmanawa sira darbe darah / kang mengku nusa Jawane / nulya tinampen gupuh / mring ki Supa duwung pinundi / angling malih jeng sunan / gawekna ingsun / coten pranti pambelehan / ingkang pantes dienggo wong laku santri / ??? ko sun golek tosan //

Alkisah Sunan Kalijaga mendatangi sanggar Mpu Supa yang sedang sibuk membuat senjata. Mpu Supa adalah suami dari Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga meminta tolong untuk dibuatkan keris coten-sembelih (pegangan lebai untuk menyembelih kambing). Lalu oleh beliau diberikan calon besi yang ukurannya sebesar biji asam jawa. Mengetahui besarnya calon besi tersebut, Empu Supa sedikit terkejut. Ia berkata "Sunan, besi ini bobotnya berat sekali, tak seimbang dengan besar wujudnya. Akan tetapi apakah besi sebesar biji asam jawa ini cukup dibuat keris ?". Lalu Sunan Kalijaga berkata : "Nak, besi itu tidak hanya sebesar biji asam jawa tetapi besarnya seperti gunung". Karena ampuh perkataan Sunan Kalijaga, pada waktu itu juga besi menjelma sebesar gunung. Hati empu Supa menjadi gugup, karena mengetahui bahwa Sunan Kalijaga memang benar-benar wali yang dikasihi oleh Pencipta Kehidupan, yang bebas mencipta apapun.

Lantaran itu, empu Supa berlutut dan takut. "Sunan, bila besi sebesar itu, saya tidak sanggup mengerjakan karena tidak dapat dijepit." Sunan Kalijaga berkata lagi "Nak sebenarnya besi itu besarnya hanyalah sebesar biji asam jawa saja. Pada saat itu juga besi kembali menjadi sebesar asam jawa lagi. Ringkas cerita, besipun kemudian dikerjakan. Tidak lama, jadilah keris, kemudian diserahkan kepada Sunan Kalijaga. Akan tetapi anehnya begitu melihat bentuknya, seketika juga Sunan Kalijaga menjadi kaget, sampai beberapa saat tidak dapat berbicara karena kagum dan tersentuh perasaannya, karena hasil kejadian keris itu berbeda jauh sekali dengan yang dimaksudkan. Maksud semula untuk dijadikan pegangan lebai, ternyata yang dihasilkan keris Jawa (baca Nusantara) asli Majapahit, luk tiga belas bagus sekali serta indah warangka-nya, tetapi sepi dari sifat-sifat keislaman.

Sebenarnya, begitu mengetahui keindahan keris, perasaan Sunan Kalijaga agak tersentuh, oleh karena itu mengamatinya sempai puas tidak bosan-bosannya. Kemudian ia berkata sambil tertawa, ”Nak, keris ini bagus sekali. Akan tetapi bila dipergunakan oleh santri tidaklah pantas. Keris ini pantas menjadi pegangan Raja yang menguasai Nusantara. Karena berwarna kemerahan, keris ini saya namakan dapur Sangkelat (artinya bersemu merah). Sekarang keris ini saya kembalikan, simpan ! Bagaimana akan kejadiannya nanti, saya sendiri tidak tahu. Selain Tuhan Yang Maha Esa yang menjelaskannya. Akan tetapi sekarang saya minta dibuatkan keris lagi yang patut digunakan oleh santri. Empu Supa diberi lagi besi yang ukurannya sebesar kemiri. Setelah dikerjakan, jadilah sebilah keris mirip pedang suduk (seperti golok atau belati). Begitu mengetahui wujud keris yang dihasilkan sunan Kalijaga sangat senang hatinya. Dapur keris itu disebut Crubuk.

Sodara-sodara pembaca blog yang terhormat,

Percayakah sodara dengan cerita di atas ? Untuk ukuran orang modern, alur cerita seperti di atas seperti meng-"hina" logika kita. Masak ada besi, bisa berubah jadi gunung ?! Sekali lagi, cerita di atas, merupakan pasemon / tamsil / perlambang untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mari kita coba "membayangkan" cerita itu dari sudut lain.

Sunan Kalijaga adalah ulama yang memberikan arah gerakan Islam yang sudah mampu mendirikan kabupaten Islam Demak Bintara. Sedangkan Mpu Supa adalah lambang penuntun gerakan rakyat yang memiliki keinginan untuk mereformasi ke tata-negaraan saat itu, dan bercita-cita untuk membangun negara nasional seperti yang dicita-citakan Gajah Mada, serta bebas dari tatanan kasta. Kehendak reformasi itu mungkin terjadi karena saat itu kerajaan Majapahit telah rapuh.

Kehendak Sunan Kalijaga untuk membuat senjata untuk menyembelih hewan, mengandung arti bahwa pada waktu itu, gerakan yang dipimpin oleh para wali, meminta bantuan pada pemimpin gerakan rakyat, hanya bertujuan untuk menggulingkan raja yang sedang berkuasa. Bakal besi yang besarnya sebesar biji asam jawa, tetapi bobotnya sangat berat sekali, merupakan perlambang bahwa, meski kabupaten Islam Bintara itu kecil wilayahnya, tetapi pembentukannya menjadi beban yang berat sekali, menguras benda, tenaga dan pikiran. Empu Supa kecewa karena besi bakal itu terlalu kecil, lambang ini berarti bahwa gerakan rakyat yang mempunyai cita-cita besar untuk mempersatukan Nusantara, belum puas dengan berdirinya kabupaten Islam Bintara itu. Sunan Kalijaga berkata bahwa besi bakal sebesar biji asam jawa akan menjadi gunung, berarti bahwa, meski saat ini Islam Bintara itu kecil, tetapi bila gerakan rakyat (gerakan kelompok Empu Supa) bersedia ikut bergabung, tentu Bintara akan menjadi kerajaan Islam yang makmur.

Empu Supa tak sanggup menggarap besi yang sebesar gunung, sebagai perlambang bahwa Demak Bintara yang mengutamakan kebudayaan Arab, akan sulit untuk berkembang, karena berbeda dengan kebudayaan Majapahiit serta kebudayaan penduduk asli. Dan sulit sekali dibangun kerajaan nasional yang bertugas melindungi seluruh penduduk yang menganut kepercayaan, adat serta tata cara beraneka warna.

Bakal besi kemudian digarap oleh Empu Supa menjadi keris Nusantara asli Majapahit. Sangat bagus, namun kosong dari sifat Islam, maksudnya gerakan rakyat yang dipimpin empu Supa tetap menghindari pembentukan kabupaten Bintara yang didasarkan agama Islam, tetapi hendak menjalankan maksudnya sendiri yaitu berdirinya negera nasional Nusantara yang bebas dari tatanan kasta dan tidak didasarkan pada salah satu agama, sebagai ganti kerajaan Syiwa-Buddha majapahit. Dinamakan keris Jawa (Nusantara) tulen bertangguh Majapahit, menjadi perlambang bahwa kebudayaan Jawa (Nusantara) asli, yang tidak mengakui tatanan kasta, tetapi tidak menolak kebudayaan Majapahit yang dengan corak dan tatanan pemerintahan seperti pada masa Hayamwuruk dahulu.

Warna kemerahan dari keris sangkelat, merupakan perlambang kuatnya potensi gerakan kelompok Empu Supa pada masa tersebut. Ketika melihat keris sangkelat, Sunan Kalijaga perasaannya tersentuh. Maksudnya, sesungguhnya Sunan Kalijaga sangat setuju dengan arah dan cita-cita perjuangan kelompok Empu Supa. Sunan Kalijaga memerintahkan agar membuat lagi keris dapur cerubuk, maksudnya bahwa meskipun tidak cenderung dengan berdirinya kabupaten Islam Bintara, tetapi gerakan Islam memaksa untuk meminta dukungan supaya kelompok Empu Supa bersedia ikut membantu perjuangannya.

Semoga "bayangan" ini bisa memberi pemicu untuk menggali sudut pandang yang berbeda dalam mengupas cerita-cerita lama.

Salam Hangat,
Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: