Kesedihan Susilo Bambang Yudhoyono

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedih saat hadir pada peringatan Hari Bumi International di Jakarta, Sabtu (22/4) kemarin. Ia mengaku prihatin hutan di Indonesia mengalami kerusakan lebih dari 2 juta hektar per tahun, akibat penebangan liar dan kebakaran hutan.

Ungkapan keprihatinan ini semoga bukan hanya terbatas untuk keperluan sambutan pada peringatan Hari Bumi, akan tetapi benar-benar merupakan keinginan untuk TOBAT walau agak terlambat. Mudah-mudahan kepedihan itu muncul dari kesadaran bahwa Sang Kuasa tidak akan mengubah nasib suatu kaum, apabila dia sendiri tidak berusaha untuk mengubahnya.

Tobat yang efektif memerlukan ilmu, lalu kesadaran akan kepedihan yang akan menimpa, dilanjutkan dengan tindakan. Tanpa ilmu, kesadaran akan kepedihan dan mau untuk bertindak dan bekerja keras, maka ucapan memelas dan sederet fakta-fakta yang diungkap Sang Hamengkubuwono, hanya merupakan kecengengan dan “dalih” orang yang tak berdaya.

---

Saat ini, saya “bertapa” di tengah hijaunya sawah di sebuah desa kecil di Pulau Dewata, memberanikan diri untuk menulis pemikiran. Bukan untuk menyombongkan diri, akan tetapi semata-mata melaksanakan kewajiban karena mengetahui sesuatu, barangkali bermanfaat jika diketahui oleh orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Sang Kuasa, dijadikan pembesar negara, gubernur, bupati dan bahkan bisa pula digunakan oleh para kepala keluarga. Saya hanya melaksanakan kewajiban, untuk mardi siwi atau mendidik “anak”, menyiarkan mutiara-mutiara dari sastra nusantara.

Tulisan yang disusun, akan berguna bila Tobat Sang Hamengkubuwono benar-benar keluar dari hati nurani yang terdalam. Tapi akan menjadi mantra penimbul petaka jika Sang Amangkurat masih dalam tataran wacana, bukan dari renungan kalbu yang terdalam.

Sodara-sodara para pemegang amanah kekuasaan,

Jika anda menonton wayang, tolong jangan hanya menyimak lakon-nya, tapi cobalah meresapi suasana fisik, pemikiran dan ruh yang menggerakkan tontonan itu. Dengan itu, mudah-mudahan anda merasakan adanya kesatuan mistik istimewa di dalamnya. Amati dan resapkan sarana fisik yang digunakan seperti kelir, blencong atau lampu, kothak tempat simpan wayang, kepyak dan dalang, resapi “serunya” lakon yang dibawakan dan “ruh” dari tontonan itu sendiri.

Setelah itu, wahai para pemimpin bangsa, resapkan – analogikan tugas atau swadharma anda sebagai seorang pemimpin dan rakyat yang menderita dan menunggu anda mengayomi mereka. Menunggu anda, memayu hayuning buwono, membuat dunia ini menjadi rahayu. Jika anda meresapi dengan ‘rasa’, maka anda akan menemukan kesatuan mistik, yang menguasai dalang beserta semua gerakannya. Gerakan dalang disebabkan oleh wayang. Bicara dalang adalah karena wayang yang sedang dimainkan. Sedangkan keberadaan wayang berasal dari Sang Abadi. Lalu masih ada yang perlu anda renungkan lebih dalam. Dalang menguasai wayang beserta semua gerakannya. Gerakan para wayang disebabkan oleh dalang, bicara wayang datang dari mulut sang dalang, semua tingkah laku wayang datang dari dalang.

Dalang dan wayang, harus saling bantu membantu. Keduanya tidak akan pernah menjadi nyata, jika tak ada niat yang tulus untuk bekerja sama. Niat tulus tersebut pertama-tama harus dimulai dari Sang Dalang. Demikian pula Gusti dan Kawula, tanpa saling bantu-membantu keduanya tidak menjadi nyata. Apatah bisa Islam menjadi besar, jika Allah dan Muhammad tidak bekerjasama ?

Anakku Sang Amangkubumi,

Ketahuilah baik-baik, bahwa engkau sudah mengemban anugerah kedudukan dari Sang Kuasa. Karena itulah, harus disadari bahwa engkau adalah kawula Sang Gusti Allah. Setiap kawula adalah merupakan bayangan, yang terikat pada Hyang Widhi dan harus menurut perintah Dia. Segala pikiran, perkataan dan perbuatanmu itu, hendaklah engkau renungkan dan gali dari nurani yang paling dalam.

Kau harus dapat dengan jelas membedakan, antara logika pikiran dan nurani. Nurani untuk memayu hayuning buwono, membuat seluruh rakyat atau kawula Nusantara ini sejahtera. Jangan dicampur dengan keinginan-keinginan kotor untuk mempertahankan popularitas ataupun melanggengkan kekuasaan.

Tan samar pamoring sukma,

Sinukmaya winahya ingasepi,

Sinimpen telenging kalbu,

Pambukaning warana,

Tarlen saking liyep alaping ngaluyup,

Pinda pesating supena,

Sumusuping rasa jati

[Serat Wedhatama, Pangkur]

Nurani itu timbul saat kita berada dalam keadaan “sepi”. Sepi bisa berarti dalam keadaan hening saat berdialog dengan bathin sendiri, juga bisa diartikan sebagai sepi dalam pamrih pribadi. Pemahaman yang didapat ketika menyepi itu, lalu simpanlah di dalam bathin yang terdalam. Yakinlah dalam melaksanakan tugas. Jangan dipengaruhi oleh “para ular” yang mengelilingimu. Dengan keteguhan dan keyakinan, maka Sang Kuasa niscaya akan membuka “tirai” atau warana atau solusi terhadap masalah yang dihadapi.

Solusi itu akan didapat ketika engkau terjun menghadapi pertentangan, dan akan melesat, menembus kesadaran terdalam, bagai anak panah, merasuk menyusup sebagai rasa sejati pembuka solusi.

Semoga engkau rajin untuk melakukan perenungan atau ber’tapa’. Dalam perenungan selidikilah hubungan kawula dan gusti. Dia bersatu namun tetap dua, dua namun menjadi satu. Itu adalah ilmu kesempurnaan untuk kesatuan. Pergilah belajar mengenai hal itu pada yang mengetahui. Karena itu meningkatkan kesempurnaan ibadah.

Resapkanlah kenyataan bahwa ada laki-laki, bersamaan dengan itu ada yang perempuan; orang memuja sekaligus dipuja; orang memberi perintah, bersamaan dengan itu mendapat perintah. Karena dalang menjadi nyata dalam wayang dan wayang menjadi nyata dalam dalang. Renungkan dan resapkan hal ini terus menerus sampai akhir ! Gusti menjadi nyata dalam kawula dan kawula menjadi nyata dalam Gusti. Janganlah alpa akan hal ini.

Make It Happen

Agar ucapanmu tidak berhenti pada tataran wacana, maka engkau perlu melaksanakan persiapan, agar orang tidak menyindirmu melaksanakan “manajemen by kungfu”. Menangkis kalau ada yang memukul, menendang hanya kalau ada yang menyerang, selalu seolah tanpa persiapan. Bagaimana cara untuk menuju gemerlap masa depan yang dicita-citakan ? Salah satu bait, Sastra Nusantara menyatakan :

Ruktine ngangkah ngukut,

Ngiket ngruket triloka kakukut

Jagad agung ginulung lan jagad alit

Den kendel kumandel kulup

Mring kilaping alam kono

[Serat Wedhatama, Gambuh]

Ruktine artinya persiapan, harus selalu ada persiapan untuk melaksanakan suatu program kerja. Hal pertama yang harus dilakukan adalah “mental creation” – menulis apa yang akan dikerjakan. Kita harus mendeskripsikan “apa” tujuan dari program kerja yang ingin dicapai – dalam bahasa jawa hal ini disebut “ngangkah”. Lalu “ngukut” berarti tahu cara mencapai tujuan itu, menyusun peta strategi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan bekal deskripsi yang jelas mengenai “apa” dan “bagaimana”, langkah berikutnya adalah melakukan sosialisasi agar seluruh stakeholder merasa terikat terhadap tujuan bersama yang ditetapkan.

Sosialisasi akan membangun semangat seluruh komponen, dan semangat itu akan memudahkan untuk mengumpulkan tiga sumber daya utama untuk menghasilkan program kerja, yakni jnana atau know-how, wirya- kuasa atau kendali dan artha yaitu sumber daya. Lalu seluruh rencana yang akan berpengaruh ke seluruh tanah Nusantara, disusun menjadi suatu model sehingga siap untuk diimplementasi. Jagad agung digulung menjadi jagad alit yaitu satu model perencanaan.

Setelah model itu disusun secara matang, maka langkah berikutnya adalah physical creation. Kalau mental creation adalah menulis apa yang akan dikerjakan, sedangkan physical creation adalah mengerjakan apa yang telah ditulis. Untuk mengeksekusi rencana diperlukan fokus terhadap tujuan dan keberanian untuk mengatasi segala rintangan (kendel kumandel - berani). Dengan keberanian dan keteguhan, maka cita-cita untuk mencapai gemerlap (kilaping alam kono) masa datang pasti akan tercapai.

Proyek

Seorang pemimpin laksana seorang project manager. Proyek adalah usaha temporer untuk melaksanakan tujuan tertentu. Sang pemimpin harus mampu membayar janji yang telah diucapkan, karena janji adalah hutang. Dia punya waktu 5 tahun untuk mewujudkan janjinya itu. Untuk melaksanakan visinya, disediakan sumber daya yang berasal dari berbagai hal. Sang penguasa, harus sadar siapa bowheer atau key stakeholder dari proyeknya. Dan terakhir Sang Penguasa harus sadar bahwa selalu ada ketidak pastian dalam mencapai tujuan, karena itulah segala resiko harus diperhitungkan.

Oleh sebab itu, untuk mencapai visi tentang lingkungan yang ditetapkan saat Hari Bumi itu, seharusnya Sang Penguasa tidak berhenti pada kemampuan berwacana ataupun melontarkan kesedihan. Tetapi harus mulai dengan tindakan, baik melalui mental creation lalu diikuti dengan physical creation. Karena itulah, selain kemampuan dalam menggaet masa, diperlukan pula kemampuan untuk menjadi seorang manajer proyek. Sang Amangkubumi perlu memahami cara untuk menetapkan lingkup kegiatan, menyusun langkah-langkah untuk mencapai tujuan, durasi dan urutannya sehingga dapat menyusun jadwal, menghitung biaya serta menetapkan kualitas.

Selain itu, kemampuan mengelola sumber daya manusia perlu juga diperhatikan. Sukses atau tidaknya suatu pekerjaan, sangat tergantung dari manusia yang melaksanakan. Lalu membangun kemampuan komunikasi, karena banyak sekali kegagalan dalam pemerintahan akibat ketidak mampuan sang pemimpin membangun komunikasi. Manajemen resiko juga diperlukan, karena itu adalah ilmu weruh sakdurunge winarah, mengetahui atau mempersiapkan suatu hal sebelum itu terjadi. Dan terakhir bagaimana bekerjasama dengan pihak lain – lembaga-lembaga donor – atau negara lain, yang ingin membantu melaksakan pembangunan untuk mencapai visi yang ditetapkan.

Visi yang tidak diterjemahkan ke dalam ukuran-ukuran yang jelas sangat sulit untuk dikelola. Dan karena sulit untuk dikelola pastilah akan sangat sulit untuk dicapai.

Penutup

Sekali lagi, apa yang saya uraikan, tentu sudah pernah diketahui oleh para penyelenggara negara, gubernur, bupati atau bahkan sodara-sodara sekalian yang menjadi kepala di keluarga masing-masing. Saya menulis hanya sekedar untuk mengingatkan, bahwa sastra-sastra Nusantara perlu digali kembali, karena tidak kalah dengan ilmu dari seberang negeri. Hal ini perlu untuk membangun kembali Jati Diri sebagai bangsa yang pernah besar di Nusantara.

Mari kita tunggu, Gunung Merapi Meletus, Laharnya Berbau Amis. Itu adalah pertanda bergeraknya para danghyang di tanah jawa untuk ikut serta berpartisipasi melaksanakan perubahan, agar Nusantara menjadi lebih baik lagi. [Tentang danghyang tanah jawa, lihat tulisan berjudul Jangan Sekali-kali meninggalkan sejarah di http://groups.yahoo.com/group/sastra-nusantara]. Para danghyang sudah tampak terlalu bersemangat, kesurupan sudah muncul dimana-mana secara sporadis, jangan sekali-kali meremehkannya. Ini ujian pamungkas untuk warga Nusantara dari Sang Kuasa. Para Danghyang akan berperang tanpa balantentara dan sakti tanpa ajian. Mari kita bersiap, bekerjasama ataukah terpaksa “berperang” dengan mereka.

Akhir kata, apabila ada hal-hal yang menyinggung perasaan dalam tulisan ini, tiada maksud untuk melakukan hal itu. Niat saya semata-mata, agar para Amangkurat, Amangkubumi, Hamengkubowono dan lain-lain, disegarkan kembali tentang cara-cara membangun pemerintahan, berdasarkan ilmu-ilmu Nusantara.

Semoga ini dapat bermanfaat.

Salam Hormat,

Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: