"Membunuh" Si Pendengki

Menjadi seorang manajer proyek di sebuah institusi pemerintah, saat ini sudah bukan hal yang menarik lagi. Pusing tujuh keliling, menghadapi persepsi negatif tentang proyek pada sebagian masyarakat bahkan lingkungan kerja. Proyek dikonotasikan setumpuk uang, penuh tipu daya, mark-up dan rekayasa. Proyek bagai lampu petromax yang dihampiri oleh laron-laron konsultan dan kontraktor pencari berkah yang mungkin sudah siap dengan strategi menjarah. Belum lagi menghadapi perilaku atasan, yang terkadang tak terlalu peduli dengan hasil jangka panjang institusi, melainkan mengejar keuntungan dan kenikmatan sesaat. Tak peduli tujuan proyek itu sendiri, akan tetapi hanya peduli tentang berapa porsi yang bisa dia dapat.

Ketika proyek berjalan, sang pimpro juga harus melengkapi diri dengan seni menghadapi gelombang pemeriksa dan ”pembina” baik dari BPK, Irjen, Bagian Perencanaan, Bagian Keuangan direktorat terkait dan lain-lain. Lebih-lebih lagi menghadapi para polisi, jaksa atau KPK, yang terkadang menanggapi surat kaleng yang ditulis oleh orang yang "buta huruf". Para pemeriksa dan pembina ini, berdatangan seperti tak kenal waktu, dengan alasan terhormat untuk membina sambil mencari ”temuan-temuan” dengan dalih transparansi dan akuntabilitas. Padahal, aktifitas para ”pemeriksa” dan ”pembina” inilah yang merupakan ”pos siluman” yang cukup besar yang harus ditutupi dan menjadi potensi penyimpangan. Kedepan, negara mungkin harus menciptakan mekanisme, dimana apabila ditemukan penyimpangan, maka yang harus diseret juga adalah para pemeriksa dan pembina yang sudah berdatangan bak laron-laron mendekati petromax. Mereka lah yang mengais”berkah” dan akan meninggalkan Si Pimpro sendiri kalau ada masalah.

Akan tetapi sodara-sodara, dari semua itu, yang paling berat adalah menghadapi Sang Pendengki. Sang Pendengki biasanya merupakan pihak internal, bisa jadi dia adalah teman kerja terdekat anda. Sang Pendengki akan tega menggunting dalam lipatan, bahkan menikam kawan seiring. Membeberkan proses yang belum selesai, mengumbar data yang kadang tak dimengerti oleh orang yang ahli. Dilengkapi dengan mulut tajam penuh syak wasangka, mengeritik apa saja yang ada di hadapan mata, selalu merasa bisa namun tak pernah bisa merasa.

Menghadapi situasi itu, adalah lebih baik menghindar daripada melakukan tindakan balas dendam. Anda harus mampu menahan diri dan memiliki kecerdasan emosi yang cukup tinggi, dengan mengubah calon seteru atau musuh, menjadi tameng dan bahkan menjadi orang kepercayaan anda. Mereka yang berpotensi menyerang nama baik anda, bisa dirubah menjadi pelindung anda. Penting untuk menemukan strategi, bagaimana menempatkan orang lain ke dalam ikatan anda dan mengubah kedengkian menjadi pernyataan terima kasih.

Strategi bisa bermacam-macam, bisa dengan melokalisir para pengritik lalu dilengkapi dengan ”mainan” disajikan dalam menu pemberian tanggung jawab. Atau dengan memberikan kedudukan tinggi namun bak jenderal tanpa pasukan dan anggaran minimal. Atau dengan memberi anggaran untuk sebuah ”tugas mulia” yang kemungkinan besar tak mampu mereka selesaikan. Secara umum, orang awam akan bergerak menjadi sang pendengki karena merasa tak dilibatkan, walau sebenarnya mereka tuna kemampuan dan keterampilan – mereka sirik karena tak mampu. Kaji tingkat kemampuan mereka, lalu buat sang pendengki merasa ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap proyek anda. Syukur-syukur mereka bisa masuk ke dalam lingkaran anda, namun jangan lupa simpan "kartu truf" yang sewaktu-waktu bisa anda keluarkan untuk "mematikan" para pendengki, jikalau mereka tak berubah.

Untuk menggelar strategi membunuh para pendengki, maka hal penting yang anda kuasai adalah, kemampuan mengubah rasa dengki atau kesedihan menjadi kegembiraan, serta kemampuan ”melihat” sesuatu di balik yang ”terlihat”. Menurut pengalaman, itu adalah kunci untuk merubah para pendengki menjadi orang kepercayaan anda.

Dari semua uraian tadi, ingatlah selalu !, strategi menjadi bukan strategi lagi, kalau terungkap. Rahasiakanlah strategi yang anda tempuh untuk menaklukkan para pendengki. Bahkan istri andapun tak perlu mengetahuinya. Kalaupun strategi itu bocor, maka anda harus dengan segera mengubahnya. Ingatlah - transparan bukan berarti telanjang.

Prinsip-prinsip efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel selalu harus menjadi pegangan. Dalam mengemban amanah besar, untuk menghasilkan ”outcome” dari proyek seperti yang ditetapkan, menjadi orang ”eling” dan ”baik hati” saja ternyata belum cukup. Sang pimpro juga harus mampu tetap ”waspada” menghadapi para pendengki, yang bisa jadi kerikil tajam yang terselip di sepatu. Perjalanan mencapai tujuan akan terasa berat, kalau sang pemegang amanah tak mampu membersihkan sepatunya dari kerikil kecil yang mengganggu itu.

Selalu tanamkan dalam bathin, rakyat menunggu "outcome" dari proyek anda untuk mensejahterakan mereka. Ingatlah, proyek adalah amanah bukan untuk dijarah. Bangun kemampuan intelektual, kecerdasan emosi dan tanggung jawab spiritual. Baca situasi, gunakan ilmu ini seperlunya, selamat menghadapi para pendengki.

Rekan-rekan, kesempatan jadi pimpro adalah kesempatan besar untuk mengabdi dan mengubah sesuatu. Karena melalui kepemimpinan anda, sesuatu akan berubah. Gedung-gedung kuliah akan berdiri megah untuk para mahasiswa sehingga produk anda turut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, jaringan irigasi akan berguna bagi peningkatan kesejahteraan para petani, atau rumah sakit akan berdiri untuk membantu masyarakat yang sakit dan membutuhkan pertolongan.

Kembangkan potensi anda, ingatlah, kapal memang aman jikalau hanya berlabuh di dermaga. tapi apakah untuk itu kapal dibuat ? Tidak sodara-sodaraku, kapal dibuat untuk mengarungi samudra luas, menghadapi badai, diterjang topan untuk mencapai tujuan.

Bangkitlah, atasi semua masalah, hadapi para pendengki ! Merdeka !!!

Salam hangat,

Ki Jero Martani.

Tidak ada komentar: