Panca Maha Bhuta dan Alkimia

Alkimia (alchemy) adalah suatu seni abad pertengahan untuk menciptakan emas dari logam apa saja. Walau alkimia seolah-olah hanya menghasilkan ilusi akan tetapi tetap berperan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern terutama ilmu kimia.

Menurut catatan, alkimia lahir di tanah mesir tepatnya Alexandria. Pada perioda yang bersamaan, ilmu ini dikembangkan di daratan Cina. Alkimia dipengaruhi oleh teori yang disusun oleh Empedocles sekitar 5 abad sebelum masehi, yang mengatakan bahwa seluruh benda disusun dari udara, tanah, api dan air. Dari teori dasar pembentukan benda tersebut di atas, maka para filsuf terus mengembangkan Alkimia, seperti Zosimus (tahun 250-300), Aristoteles, Geber, Roger Bacon dari Inggris, Albertus Magnus dari Jerman, St. Thomas Aquinas dari Itali dan lain-lain.

Yang paling menarik adalah Philippus Paracelsus, ahli kimia dari Swiss yang menyatakan secara tegas bahwa segala hal dibentuk dari tanah, udara, air, api dan sebuah elemen yang “belum” diketahui. Jika elemen tersebut diketahui, maka diyakini bahwa manusia bisa “menciptakan apa saja” dari keempat elemen tersebut di atas. Setelah Paracelcus tiada, para ahli kimia di Eropa dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok yang berkonsentrasi pada usaha-usaha scientific untuk menemukan unsur dan reaksi yang baru sedangkan kelompok lain berkonsentrasi pada sisi metafisik dari alkimia kuno.

---oOo---

Pada suatu waktu saya berkesempatan untuk melihat upacara ngaben di Bali. Menurut keterangan dari seorang teman, proses pembakaran mayat ini adalah upaya untuk menguraikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta yaitu pretiwi (tanah), bayu (udara), apah (air), teja (api) dan akasa (ether / ruang kosong / hampa udara).

Saat ini, acara ngaben ataupun penguburan jenasah masih sering menjadi kontroversi di masyarakat Pulau Dewata. Filsafat Panca Mahabhuta yang tinggi dan berasal dari Weda yang usianya ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum alkimia diperbincangkan, menjadi kehilangan arti akibat kontroversi yang ada. Masyarakat terjebak pada unsur syariat beragama bukan hakikat dari filsafat kegiatan itu sendiri. Bahkan para politikus lokal bak mengail diair keruh terus menghembuskan kontroversi tentang biaya ngaben yang bisa sampai mencapai miliaran rupiah sebagai upaya pemborosan, bukan sebagai upacara penghormatan terhadap terurainya unsur-unsur bhuwana alit kembali ke jagat agung. Juga sekte-sekte baru yang bermunculan, dengan giat menghembuskan kegiatan ngaben sebagai upacara yang memiskinkan masyarakat. Padahal, para leluhur Bali, semenjak jaman dahulu kala telah mengatur tata upacara berdasarkan skala ketersediaan dana menjadi nista, madya dan utama.

“Awidya – ketidak tahuan” dan “Ahamkara – kepentingan” mereka, menutupi dahysatnya, filsafat Panca Maha Bhuta yang dapat menjawab “unsur ke lima” yang belum ditemukan oleh Philippus Paracelsus yaitu akasa. Akasa yang diartikan oleh masyarakat Hindu pulau Dewata sebagai ether atau ruang kosong atau hampa udara, adalah elemen terakhir yang dicari-cari oleh para ahli kimia.

Sodara-sodaraku,

Masih dalam rangkaian kegiatan ngaben, saya diantar teman, pergi ke dapur logistik upacara ngaben. Canda tawa para pemuda ketika mencincang daging dengan golok, mencerminkan keakraban antar mereka. Lalu “Patus” atau koki, sibuk dengan berbagai bahan untuk memasak makanan seperti lawar – daging cincang, sate, sayur aneka bumbu dapur dan lain-lain. Cukup lama saya melihat kesibukan yang mereka lakukan dengan penuh keceriaan dan rasa pengabdian untuk bergotong royong menyelesaikan tugas yang cukup berat.

Terlintas dalam benak saya tentang Filsafat Panca Maha Bhuta yang diceritakan panjang lebar oleh temat saya itu, untuk dikaitkan dengan apa yang diciptakan oleh sang koki tukang masak. Jikalau ajaran Panca Maha Bhuta yang tercantum di kitab Weda ini benar, tentulah pola yang sama berlaku pada saat “menciptakan” masakan yang kami nikmati bersama.

Dalam perenungan, saya mengamati sang koki menyediakan berbagai unsur padat - pertiwi seperti sayur, daging dan bumbu dapur. Lalu ada unsur apah yaitu unsur cair yang digunakan sebagai katalisator entah itu air ataupun minyak goreng. Teja atau api berfungsi sebagai sumber panas dan bayu atau tenaga manusia dari sang koki dan para “pengayah” atau orang yang membantu kegiatan. Sudah terlihat 4 kelompok unsur – pertiwi, apah, teja, bayu akan tetapi saya belum menemukan unsur akasa atau ruang kosong-nya. Kalau ini tidak kita temukan, maka tentu Panca Maha Bhuta itu bohong belaka – bahkan lebih parah lagi Weda tak berarti apa-apa.

Walau tidak mengenal Kitab Weda dengan baik, saya percaya, bahwa sumber-sumber agama dari para pemeluk agama Hindu adalah berasal dari Sang Penguasa Alam. Lalu dimana unsur terakhir itu ? Dimana unsur yang belum ditemukan untuk mengubah apa saja menjadi “emas” ? Apakah akasa – unsur terakhir Panca Maha Bhuta itu ?

Dalam perbincangan saya dengan sang koki masakan, saya bertanya, bagaimana cara untuk meramu “rasa” sayur nangka yang bisa dimakan oleh 100 orang sehingga terasa nikmat ? Bagaimana langkah-langkah yang dilakukan agar komposisi unsur-unsur nangka, daun kacang, daging dan berbagai bumbu, dapat diramu dengan tepat ? Apakah anda punya resep tertulis ?

Jawabannya sangat mengejutkan. “Saya tidak memiliki catatan khusus untuk resep”. Pekerjaan ini saya jalani mulai dari magang ketika ayah saya jadi “patus” juga, sampai sekarang saya mewarisi pekerjaan beliau. Ini adalah masalah “rasa” bukan komposisi atau perbandingan matematis – jawab sang koki yang jebolan fakultas sastra - sambil tersenyum.

“AHA” – saya menemukan jawaban unsur kelimat itu apa. Akasa yang selama ini diartikan sebagai ruang kosong, ruang hampa atau ether – bisa juga diartikan sebagai rumus atau komposisi. Dan rumus ini tentu adalah hasil produk dari unsur bhuwah - pikiran dan swah – jiwa, yang memang merupakan unsur intangible – sehingga oleh masyarakat awam disederhanakan menjadi ruang kosong – tak terlihat – tak dapat diraba.

Maka dengan Akasa atau kalau boleh saya sebut Rumus atau Komposisi – maka seluruh elemen benda padat, cair, sumber energi atau api dan tenaga kerja dipadukan untuk mentransformasi unsur-unsur pertiwi, apah, agni / teja dan bayu untuk menghasilkan “emas” yaitu masakan nikmat sayur nangka, daging cincang berwarna merah yang enak sekali dan sate “pusut” yang tidak pernah saya makan di Jakarta.

---oOo---

Akhir liburan telah tiba, saya meninggalkan Pulau Dewata dengan seribu kenangan, untuk kembali ke “dunia” keseharian saya.

Saat merenung di kantor saya berfikir tentang pertiwi – benda-benda tangible – perangkat keras – fasilitas pendukung – computer and communication facilities, lalu apah – perangkat lunak yang mampu mengalirkan informasi dari satu tempat ke tempat lain, bayu – sebagai brainware atau tenaga kerja yang akan menjalankan sistem tersebut, data / informasi – teja / nur / ilham yang menjadi sumber kekuatan (information is power) untuk menggerakkan jagat agung perusahaan serta yang terakhir tata laksana – atau standard operating procedure yang merupakan formula untuk mensinergikan seluruh resources untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Sepertinya, saya hampir atau bahkan sudah menemukan rumus kelima untuk menghasilkan “emas” yang dicari oleh para Alchemist jaman dulu dengan bantuan konsep Panca Maha Bhuta. Puji Tuhan dan terima kasih atau suksma saya sudah mendapatkan ilham yang sangat berharga.

Semoga masyarakat Bali ke depan, dapat menggali kembali filsafat-filsafat tinggi yang telah terbukti dapat mempertahankan Bali dari kehancuran sejak jatuhnya Majapahit bahkan dapat membuat “dirinya” terkenal sampai ke manca negara. Dengan meyakini syariat - adat yang dilakukan sejak beratus tahun yang lalu, serta menggali dan mengkaji hakikat - filsafat yang mendasarinya, maka niat para leluhur tanah Bali untuk mewariskan pemahaman kitab suci melalui pelaksanaan kegiatan upacara dapat terjaga.

Mungkin interpretasi ini terlalu naif atau menyederhanakan permasalahan. Atau bahkan bisa-bisa dianggap menghina simbol-simbol agama Hindu. Tetapi sesungguhnya niat saya tidaklah demikian. Bahkan sebaliknya, bukti kebenaran Panca Maha Bhuta yang berasal dari Weda yang tidak pernah saya baca, menguatkan keyakinan bahwa Weda seperti juga kitab-kitab suci lainnya adalah produk pikiran manusia terpilih yang mendapat rahmat langsung dari Sang Pencipta.

Pertikaian dan kontroversi terkait dengan Ngaben yang merupakan terjemahan filsafat Panca Maha Bhuta, yang ramai dibicarakan seperti cerita teman saya, mungkin karena “awidya” - ketidak tahuan dan “ahamkara” – egosentris, sehingga menjadi tirai penutup bahkan sumber kehancuran filsafat tinggi yang ingin “diwariskan” oleh para leluhur tanah Bali kepada keturunannya.

Walau dari jauh … saya selalu berdoa akan kelestarian Permata Nusantara yang telah menjadi perhatian seluruh dunia – Pulau Dewata – yang walau sebentar disana – kenangannya tak pernah dapat dilupakan.

Salam hangat,

Ki Jero Martani

1 komentar:

gustubalidriver mengatakan...

Sangat bagus ulasan ki jero, saya sangat terkesan...anda benar benar seorang yang terbuka (open mind) pemikiran anda kalau saya ibaratkan pemikiran anda seperti orang Barat yg suka mempelajari budaya, agama dan tradisi lain yg beradab, penjelasan anda sesuai dengan sumber yang anda dapat thaknks informasinya