Peran Sesajen dalam Ketahanan Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya

Peran Sesajen dalam Ketahanan Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya magnify


Sodara-sodara ku anggota miling list, saya sadar, sangat sadar sekali, bahwa pemikiran-pemikiran saya, terkadang meng-’hina’ logika para pembaca. Tapi saya juga percaya, sebagian besar rekan-rekan di mailing list ini, cukup dewasa untuk memberikan ruang bagi ke-bhineka-an pemikiran. Dengan kebhinekaan itu, mungkin kita bisa capai titik temu, yang akan menyeleraskan antara art, science and technology. Art mengandung unsur rasa, yang terkadang sulit untuk diuraikan dalam kata-kata. Karena itulah, saya berusaha, mengisi ruang-ruang kosong tentang ’rasa’, untuk memperkaya khazanah diskusi di mailing list ini.

Seperti yang diuraikan dalam kitab Sutasoma, saya mungkin harus ingatkan lagi :

Rwaneka datu winuwus wara buddha wiswa

Bhineki rakwa ringapan kena parwa nosen

Mangkan jinatawa kalawan siswa tatwa tunggal

Bhineka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa

Yang kalau saya terjemahkan secara bebas mungkin dapat diartikan bahwa kepercayaan konon berasal dari berbagai sumber, akan tetapi bicara tentang Sang Penguasa Alam, kapankah Dia dapat dibagi-bagi ? Karena pada hakekatnya, kebenaran itu satu. Berbeda-beda tetapi satu, tak mungkin kita membelah Sang Kuasa.

----

Dalam satu kesempatan, saya mendengar diskusi para generasi muda Hindu. Mereka seakan ber’teriak-teriak’, menentang sajen yang merupakan budaya warisan leluhur-leluhurnya dulu. Saat itu saya merasa miris, dan karena merasa tak ’wenang’ dan juga tak ditanya, maka saya diam saja. Seandainya saya ditanya, maka saya akan ceritakan, alur logika yang diambil oleh para leluhur mereka, yaitu mengintegrasikan antara agama dan budaya untuk mempertahankan warga Bali dari ’serangan’ ekonomi, politik dan sosio kultural yang mengepung dari segala arah.

Sodaraku Generasi Muda Bali,

Lima ratus tahun yang lalu, ketika Majapahit Runtuh, penumpasan besar-besaran terjadi. Seorang brahmana kerajaan beragama Ciwa-Buddha bernama Dwijendra, tergopoh-gopoh menyingkir ke Bali (1411 tahun jawa), dengan membawa serta berbagai ’ilmu-ilmu’ yang masih bisa dibawa dari tanah jawa. Saat itu, Bali terkepung dari kiri dan kanan. Blambangan islam begitu juga Lombok. Apakah yang menyelamatkan perekonomian tanah Bali saat itu? Yang menyalamatkan adalah sajen, anak-anakku.

Dapat anda bayangkan berapa ton buah-buahan yang diperlukan untuk sajen. Minimal 15 hari sekali, saat bulan Purnama dan bulan mati, mereka membuat sajen. Belum lagi upacara Yadnya atau kurban suci (kayak Idul Adha barangkali ya?), ada Dewa Yadnya, Resi Yadnya, Manusia Yadnya dan Butha Yadnya. Butha Yadnya yang kita kenal dilaksanakan setahun sekali, pada saat hari Raya Nyepi. Dan puluhan lainnya, yang kalo ingin detilnya mesti ditanyakan pada orang yang memahami adat-istiadat Bali.

Petani jadi hidup, para peternak berjalan usahanya, bahkan orang-orang jompo asal mau kerja mereka bisa mendapatkan uang dengan menjual sajen berupa canang. Bukankah sajen dapat mengentaskan ketertinggalan akibat blokade yang dilakukan dari kiri-kanan oleh kerajaan-kerajaan yang berbeda kepercayaan ?

Lalu kalau anda amati peta pariwisata daerah Bali, disepanjang pantai terdapat pura-pura besar yang merupakan tempat suci penyungsungan jagad – artinya otoritas pengelolaan ada pada ksatria yang memerintah tanah Bali. Proyek-proyek pembangunan pura, di sepanjang pantai, jelas-jelas upaya untuk menggerakkan ekonomi kerakyatan melalui proyek pembangunan, sehingga dengan memberi kesejahteraan maka ketahanan poleksosbudhankam (istilah orde baru heh) dapat diwujudkan.

Belum lagi upacara-upacara perkawinan, ngaben dan lain-lain yang mampu menarik dana dari yang kaya, untuk dapat dinikmati juga oleh para pelaksana ekonomi masyarakat sekitarnya. Pada saat ngaben / pembakaran mayat / kematian untuk seorang raja, maka keluarganya bisa mengadakan acara sampai 1 bulan 7 hari (42 hari), setiap harinya berapa kerbau, babi atau ayam yang disembelih untuk menyediakan logistik bagi masyarakat yang bergotong royong mempersiapkan upacara tersebut.

Tapi apakah masyarakat kecil yang tak punya uang, nggak jadi mati, karena ndak punya uang buat ngaben ? Tentu tidak saudaraku, leluhur mereka menyusun tingkatan upacara yaitu nista, madya dan utama. Walau hakekatnya sama, tetapi kuantitas sajennya berbeda-beda. Sama saja dengan kita, kalau kita punya aset 25 M, lalu anak kesayangan kita menikah, tentu biaya 1M tidak masalah. Lalu apakah anak seorang tukang becak tak bisa kawin ? Tentu ada upacara perkawinan yang tak semewah si konglomerat, yang penting kan kawin. Lain halnya kalau ada unsur gengsi atau hanya ingin mudahnya sendiri, ini yang bikin ruwet dan akhirnya menganggap budaya sebagai beban.

---

Sodara-sodaraku dari pulau Dewata,

Dengan kepercayaan, yang bagi sebagian orang tidak masuk akal, leluhur-leluhur tanah Bali, dapat membuat Bali selamat sampai saat ini, bertahan dari ’serangan’ ekonomi, politik dan sosio kultural sejak beratus tahun yang lalu. Tapi mungkin, karena sudah lama tak disegarkan, maka generasi muda Bali, sudah banyak yang melupakan berbagai filosofi dasar kenapa leluhur-leluhur mereka men-setting budaya seperti sekarang ini.

Leluhur-leluhur tanah Bali, mampu membangun sistem terintegrasi untuk melindungi diri dari serangan ekonomi, politik dan kepercayaan melalui agama yang diintegrasikan dengan budaya. Dan menurut saya, visi para leluhur itu telah tercapai. Kemakmuran dan ketentraman sudah dirasakan. Berbagai produk-produk kesenian hasil kebudayaan yang tinggi, terkenal sampai ke manca negara. Dollar mengalir, warga Bali jadi sejahtera, sambil tetap kuat menjaga jati dirinya.

Tapi setelah ’serangan’ Bom Bali, dan kurangnya usaha generasi muda, dalam hal mengkaji ’kecemerlangan’ pemikiran jenius lokal para leluhur mereka, maka akhirnya mereka jadi gamang. Mereka berteriak supaya kembali ke catur weda, yang tebalnya minta ampun, yang kalau dibaca seumur hiduppun tidak tamat, apalagi untuk mengerti.



Sekarang ini banyak muncullah pandita (ulama hindu) tanpa pengikut, ilmuwan spiritual tukang (mengeluarkan statement berdasarkan pesanan) yang berkolaborasi dengan para oportunis politik, berusaha mengobrak-abrik budaya yang telah terbukti berhasil menyelamatkan bali. Konspirasi ini mengusung budaya ’import’ dari India yang ternyata belum mereka kuasai sepenuhnya. Ingin menyingkirkan hasil kerja leluhur tanah Bali, yang telah terbukti sukses, dengan jargon-jargon Hindu Modern yang belum tentu juntrungannya. Lalu sistem sosio kultural mereka hancur sendiri dari dalam. Parisada (kalau kita-MUI), di Bali terpecah dua, karena menurut data intelejen, parisada pusat mereka, telah disusupi oleh pandita-pandita petualang tanpa umat, yang bekerjasama dengan elit politik yang hanya memiliki kepentingan sesaat.

Sang Brahmana berambisi jadi Ksatria – pemerintah negara, Sang Ksatria berkolaborasi dengan Wesya para pedagang untuk mengegolkan proyek-proyek pemerintah, untuk dijarah oleh kroni-kroninya. Hancurlah tatanan masyarakat Bali .... seperti keadaan Tanah Nusantara selama ini. Kiai jadi presiden, janda dipangku , akhirnya dikudeta dan bikin malu saja,. Presiden kuat dan track record luar biasa, terjungkal karena kesalahan kecil membantu anaknya jadi pedagang termasuk jualan mobil. Pedagang berkomplot dengan polisi, menjarah Bank terang-terangan sampai triliunan rupiah. Hancur sudah negara kita.

---

Salahkah generasi muda Bali yang mempertanyakan sajen-sajen yang sudah jadi budaya leluhur mereka ? Tidak ... mereka hanya tidak tahu ... sama seperti warga Seluruh Nusantara yang sedang mengalami serangan frontal baik ekonomi, politik dan sosial budaya ... gamang mencari pegangan ... padahal leluhur-leluhur kita telah pernah sukses, melewati ujian - permasalahan yang sama. Pengalaman baik dan buruk mereka, tentu dapat digunakan sebagai pelajaran untuk menghadapi masa depan kita sebagai Bangsa Nusantara ...

Karena itulah, sodara-sodaraku anggota mailing list, keterbukaan terhadap berbagai alternatif pemikiran perlu kita kembangkan. Mohon jangan sekali-kali meremehkan kepercayaan seseorang, karena kata orang, kepercayaan seorang anak manusia mampu memindahkan gunung, bahkan mampu ’menyuruh’ gunung meletus, dan lautan meluap. Kepercayaan, walau seperti menghina logika, mampu membangun ketahanan politik, ekonomi, sosial dan budaya tanah Bali, sampai 500 tahun

Biarlah kita berjalan pada keyakinan kita masing-masing, mari kita berusaha, saling isi mengisi, bukan saling menghina bahkan meniadakan, untuk mencapai satu tujuan, memayu hayuning buwono, membuat dunia atau tanah nusantara ini, jadi rahayu ...

Salam hangat,

Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: