Reinkarnasi (Bagian ke dua) magnify
Reinkarnasi Dalam Pemikiran Teosofi (Bagian ke dua)
oleh : A. Samsu Trihadi
===================
Konsep reinkarnasi mempunyai tempat yang (sangat) mendasar dalam filsafat
teosofi. Arti filsafat disini adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat dasar,
fungsi dan tujuan manusia, alam semesta dan kehidupan. Sedangkan teosofi adalah
aliran yang menjelaskan tentang sifat-sifat Ketuhanan melalui pengalaman
perkembangan spiritual manusia itu sendiri atau dalam arti yang lebih umum:
teosofi adalah kumpulan ilmu kearifan manusia dari segala zaman.
Konsep reinkarnasi adalah kunci yang membuka pintu pengertian yang sangat
dalam kepada kehidupan manusia, yang bila tidak dijelaskan dengan cara ini tidak
akan dapat dijelaskan dengan cara lainnya. Di dunia Barat, doktrin yang pada
umumnya paling banyak diterima adalah bahwa jiwa manusia itu terbentuk bersamaan
dengan kelahiran fisik manusia itu sendiri. Meskipun demikian, timbul pada suatu
kelompok-kelompok agama tertentu, saat ini, untuk menghidupkan kembali teori
reinkarnasi, dan masalah ini bahkan sedang didiskusikan dibidang ilmu jiwa
(psikologi) dan ilmu tentang asal usul manusia (anthropologi).
Banyak pemikir-pemikir, baik pria maupun wanita, yang tidak pernah dapat
menerima bahwa Tuhan telah memberikan kepada beberapa orang suatu keadaan kaya
raya dan berlebihan dan kepada yang lain kemiskinan dan kekurangan; yang
memberikan kepada beberapa orang kecerdasan dan bakat seni yang tidak diberikan
kepada orang lain; yang memberikan berkat keindahan tubuh kepada yang satu dan
kepada yang lain tubuh yang cacat yang menimbulkan penderitaan dalam
kehidupannya. Ketidaksamaan atau ketidak adilan ini dan banyak sekali hal-hal
lainnya dapat dilihat dalam kehidupan ini.
Bagaimana, tanya para pemikir dan orang-orang yang mempunyai rasa belas
kasihan, dapatkah mereka diyakinkan untuk menerima konsep tentang Tuhan yang
Adil dan Penyayang dengan menyatakan sesungguhnya setiap jiwa adalah suatu
ciptaan yang ikhlas? Artinya ciptaan yang dapat menerima keadaan apapun yang
diberikan kepadanya?
Teosofi menentukan suatu proses yang berbeda dari doktrin di atas, yang pada
kenyataannya bersamaan dengan doktrin reinkarnasi. Kita perlu menyadari bahwa
setiap dari kita adalah suatu bagian dari kehidupan Logos (= Tuhan) yang
berevolusi dalam suatu Sistim Tata Surya --- suatu Pikiran Ketuhanan yang Kekal
yang ada dalam setiap unsur dari ciptaan. Sementara adanya doktrin yang
menyatakan, bahwa harus ada yang melampaui (transenden) seperti juga harus ada
yang selalu ada (imanen), kita tidak bisa menerima konsep berupa ide kuno
tentang Dewa seperti “Bapa Surgawi” yang untuk beberapa sebab yang tidak dapat
dijelaskan, memainkan permainan yang kejam terhadap ciptaanNya sendiri dan
menuntut balasan cinta tanpa syarat dari mereka.
Selanjutnya, kebanyakan orang akan sependapat bahwa, bila ada suatu waktu awal
tentunya harus ada waktu akhir. Sebab, menurut apa yang diajarkan dalam
pandangan tradisional kuno, jiwa itu mempunyai masa depan tidak terbatas (tidak
dapat mati), meskipun tidak punya asal usul. Ini sama saja dengan menyatakan
suatu batang tongkat yang hanya mempunyai satu ujung (dan ujung lainnya tidak
ada).
Teori evolusi pada umumnya (dapat) dimengerti pada masa kini, dan Teosofi
melihatnya sebagai hukum yang berlaku untuk pertumbuhan spiritual manusia,
seperti juga pada bentuk-bentuk materi lainnya. Ada 3 (tiga) hipotesa yang
disajikan sehubungan dengan metoda melalui mana evolusi pada manusia bekerja
untuk mencapai tujuan kebijaksanaan yang diinginkan, dan juga tujuan kebaikan
dan keahlian:
Pertama, bahwa kematian dengan beberapa cara yang ajaib membuat setiap orang
--- sedikitnya sebagian orang, berhak untuk masuk surga – (surga adalah sesuatu
keadaan dimana semua bijaksana dan seluruhnya baik);
Kedua, bahwa kehidupan sesudah kematian memberikan kesempatan yang lengkap
untuk pertumbuhan (jiwa) ke arah kesempurnaan;
Ketiga, bahwa jiwa berulang-ulang harus kembali ke dunia untuk mempelajari
semua hal yang harus dipelajari dari sekolah kehidupan, persis sama seperti
seorang anak yang pergi ke sekolah hari demi hari dan tahun demi tahun, sampai
akhirnya dia lulus.
Hipotesa pertama kelihatannya tidak bisa diterima, karena suatu agen uniform
yang bekerja dan beroperasi secara uniform seharusnya menghasilkan hasil yang
juga uniform, artinya kalau hidupnya didunia mempunyai tingkat kemampuan jasmani
(atau Rohani) tertentu, maka pada kehidupan di sorga tidak bisa berubah mendadak
menjadi sempurna. Selain itu bukti hasil penyelidikan para clairvoyance
menunjukkan bahwa mereka yang telah “mati” tidak lagi sama dalam bidang atau
keadaannya seperti jika (dibandingkan) waktu mereka masih memiliki tubuh fisik;
dan disana mereka masih mampu salah dalam perbuatan dan penilaian (fact and
judgement).
Bahkan dengan mengesampingkan pengamatan dari para clairvoyance, kita boleh
secara logis menganggap bahwa, karena tubuh itu membusuk, haruslah ada kesadaran
yang hidup terus. Jika kita mengamati bagaimana lambatnya dan berapa besarnya
usaha yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan kesadaran*) selama hidup
dibumi, agaknya tidak masuk akal jika kita mengharapkan bahwa dalam beberapa
kejap setelah kematian, secara tiba-tiba dikatakan “menjadi sempurna”. Ini bukan
merupakan kelangsungan yang berkelanjutan; ini merupakan suatu “kejutan
mendadak” dan sehingga kita tiba-tiba menjadi asing terhadap diri kita sendiri!
Untuk menerima hal ini adalah sama seperti memikirkan keadaan khayalan ilmiah
(science fiction)!
Hipotesa kedua, yang mengatakan bahwa kehidupan setelah kematian membimbing
jiwa ke arah kebijaksanaan seluruhnya Hal ini menimbulkan keberatan karena
pengetahuan tentang kondisi bumi dan kehidupan manusia dari jiwa, tak dapat
dilengkapi atau disempurnakan dalam kondisi secara mendadak berubah (fast break)
setelah kematian. Apabila hal ini dimungkinkan, tidak ada suatu halpun yang ada
gunanya pada badan fisik kita ini terhadap hasil usaha (pencapaian) selama waktu
kita masih hidup. Kita tidak akan berpikir bahwa akan masuk akal untuk seseorang
yang mengeluarkan banyak biaya dan usaha, yang dengan bersusah payah melatih
dirinya dalam suatu profesi keahlian --- katakan misalkan seorang dokter atau
pengacara, misalnya --- lalu setelah kematian memilih suatu aktivitas yang sama
sekali tidak ada hubungannya dengan kariernya. Akankah kita kemudian
mengharapkan seorang mahluk manusia yang menerima suatu pendidikan keahlian
dalam soal-soal tertentu dibumi akan melupakan semua
yang dia telah pelajari? Atau setelah kematian dia akan masuk kedalam suatu
keadaan, dimana semua yang dia pelajari menjadi tidak berharga atau tidak ada
nilainya? Karena kehidupan didunia adalah suatu kenyataan yang tidak dapat
dibantah, maka kehidupan itu seharusnya mempunyai maksud tertentu yang penting
dalam proses evolusi.
Kalau kita mempelajari, kita akan tahu bahwa hanya dengan batasan yang sangat
ketat (atau sangat sulit) kesadaran jiwa dapat dicapai. Jika hipotesa kedua
dapat diterima, ini sama saja dengan menyatakan bahwa kehidupan setelah
kematian, jika seluruhnya dianggap subyektif, hampir tidak memberikan batasan
dalam pencapaian kesadaran penuh (atau dengan kata lain sangat mudah untuk
mencapai kesadaran penuh) yang merupakan tujuan akhir dari evolusi. Ini adalah
dua hal yang sangat bertentangan.
Oleh karena itu, teosofi menolak kedua hipotesa yang terdahulu ini, dan
menerima yang ketiga karena hipotesa ketiga merupakan hipotesa yang paling masuk
akal, dan sangat sesuai dengan konsep suatu keteraturan berdasarkan hukum
keadilan manusia. Analogi dengan suatu sekolah sesungguhnya suatu hal yang
sangat cocok. Kita tahu bahwa kita tidak siap untuk lulus dari suatu universitas
bila kita baru tingkat satu, tidak juga bila kita telah selesai dengan sekolah
SMP atau SMA; untuk dinyatakan lulus, kita harus menyelesaikan seluruh tahap
pendidikan sebelum kita bisa melanjutkan ketahap selanjutnya. Jadi kita
melengkapi pendidikan kosmos kita dengan wajib menghadiri sekolah kehidupan yang
telah ditentukan.
*) Catatan:
Kesadaran disini mula-mula dapat dinyatakan sebagai berikut: “Dibandingkan
dengan binatang, maka manuasia mempunyai logika dan kemampuan untuk menganalisa,
menyusun atau menyatukan hasil analisa, dan kemudian menarik kesimpulannya”.
Binatang tidak. Jadi sebagai mahluk yang mempunyai kelebihan dari binatang,
seharusnya manusia menyadari tentang adanya kelebihan itu. Kesadaran bahwa
manusia bukan binatang, menghantarkan manusia kearah kehidupan yang seharusnya
bisa mengontrol nafsu-nafsu hewani yang ada padanya. Selanjutnya, pengertian
bahwa manusia itu berkembang untuk menjadi lebih sempurna (berevolusi)
mengantarkan manusia tersebut kearah pemahaman tentang jawaban pertanyaan:
“siapa saya?”. Jika manusia sudah mulai bertanya tentang siapa dirinya
sesungguhnya, maka manusia akan mulai menyadari bahwa dia memakai tubuh fisik
yang akan hancur, sedangkan wujud didalamnya (roh, jiwa, atau atma) itu tidak
ikut hancur, tetapi kekal adanya. Mulai disadarinya tentang siapa
dirinya, akan menimbulkan suatu perjalanan hidup untuk mengetahui dan meyadari
lebih lanjut tentang hakikat dari diri atau kehidupannya, atau dengan kata lain
secara singkat disebut: Kesadaran.
Apa yang terjadi setelah “kematian”?
Teosofi menyatakan bahwa “manusia sejati” (the real man) tidak lagi mati
setelah dia meninggalkan tubuh fisik yang dipakai sebelumnya; sebetulnya,
setelah sesuatu saat, dia menjadi lebih memancarkan kehidupan dari sebelumnya,
karena dia tidak lagi ada (mempunyai) identifikasi dirinya dan tidak lagi
mempunyai ketergantungan pada material fisik (padatnya). Dia hanya tidak lagi
menggunakan kendaraan “untuk mengekspresikan dirinya” dalam atau pada tubuh
fisiknya. Hal itu mirip dengan terputusnya (hubungan) kabel komunikasi,
meninggalkan pesawat penerimanya mati, meskipun “apa yang sebelumnya berbicara”
melalui pesawat penerima (telepon) itu hidup seterusnya.
Menurut apa yang dijelaskan oleh pengamat-pengamat clairvoyance, ketika
seseorang mendekati titik kematiannya, kedua lapisan eter atau lapisan eter
ganda (eteric double) yang mengalirkan vitalitas ketubuh fisik (yang lebih
padat), secara bertahap, membawa bersamanya kekuatan kehidupan kepada badan yang
lebih tinggi. Uliran megnetis yang ramping -- tali perak (silver cord) – adalah
tali penghubung terakhir yang meng-hubungkan “tubuh yang lebih tinggi” dengan
tubuh yang sedang sekarat. Kemudian, pada saat-saat terakhir dari kesadaran,
yang makin lama makin pudar ketika kehidupan ditarik, peritiwa-peristiwa dalam
reinkarnasi-reinkarnasi yang lalu ditampakkan kembali dengan cepat -- sesuatu
fakta yang telah diuji dengan baik dari orang-orang yang diselamatkan dari mati
tenggelam atau orang-orang yang hampir mati karena sebab-sebab lain, dan
disadarkan kembali. Akhirnya, pada saat kematian, tali magnit dari material eter
terputus, dan orang itu, terbungkus dalam lapisan eter
ganda lembayung-abu-abu, nampak melayang sesaat diatas badan fisik (yang padat)
dalam keadaan ketidaksadaran yang penuh kedamaian. Suatu diskripsi yang indah
mengenai saat itu telah digambarkan oleh Longfellow dalam bukunya “The Slave’s
Dream”, yang disimpulkan dalam kalimat-kalimat berikut:
Karena kematian telah menerangi tanah yang tidur,
Dan tubuhnya yang kehilangan kehidupan terbaring,
Suatu pelepasan belenggu yang oleh jiwa
Telah dipecahkan dan dibuang.
Hal itu menyatakan bahwa proses kematian tidak banyak berbeda dengan pergi
tidur, bedanya dalam tidur lapisan eter ganda tetap terikat pada tubuh fisik
(yang padat), mensuplai tubuh dengan vitalitas, sedangkan pada saat kematian
lapisan eter ganda ditarik dan hubungan magnit diputuskan. Dikatakan bahwa
seseorang yang mengalami saat penarikan yang sangat khidmat ini, saat mengalami
transisi, akan sangat tertolong oleh orang yang berada disampingnya (orang-orang
yang hadir) dengan bersikap hening dan tenang dan tanpa emosi yang dapat
menghalangi (misalkan kesedihan yang berlebihan) pada apa yang sedang terjadi.
Setelah beberapa saat, pada tiap orang bisa saja berbeda, tetapi biasanya
berakhir dalam beberapa jam; ego atau jiwa melepaskan diri dari keterikatan
fisik. Lapisan eter ganda kemudian “padam” juga dan secara pelahan-lahan
terpisah (buyar), sementara “orang itu” tinggal dalam badan astral atau badan
emosionalnya. Ini adalah cara lain untuk mengatakan bahwa tubuh
emosional hidup lebih lama dari tubuh fisik.
Jika kita pernah mempelajari tubuh manusia secara ilmu metafisika, kita
akhirnya akan sampai pada pemahaman bahwa tubuh itu terdiri dari 7 bidang
(plane). Tubuh emosi berada dalam suatu dunia yang lebih halus dibandingkan
dengan suatu keadaan materi biasa yang dapat dilihat (tubuh fisik) --- suatu
medan keberadaan dengan tingkat getarannya sendiri, dari yang paling halus
sampai yang paling kasar, dan suatu pribadi tertentu ditarik pada tingkat yang
paling sesuai sifatnya dengan emosi alami pada masa hidupnya didunia.
Tubuh emosi mempunyai suatu macam kesadaran elemental yang samar yang
merasakan perubahan ketika pemisahan lapisan eter ganda terjadi, dan dengan
maksud melindungi dirinya dan melawan pemecahan (pembuyaran tubuh fisik) selama
mungkin, dia dengan segera mulai menyusun kembali materi yang hidup lebih lama,
sedemikian sehingga vibrasi yang lebih padat, kasar, membentuk lapisan yang
paling luar. Disini, untuk suatu saat, orang mungkin dikatakan dipenjarakan,
hanya menerima pengaruh-pengaruh yang demikian yang dapat mencapainya melalui
lapisan ini. Akan tetapi, secara pelahan-lahan, ini juga terpecah (buyar), dan
kesadaran itu dapat berfungsi kembali didalamnya, dan sadar terhadap tingkatan
yang lebih halus dan lebih tinggi dalam dunia astral.
Seseorang yang mempunyai kehidupan yang tidak bermoral, yang membiarkan
dirinya dipengaruhi oleh keinginan-keinginan hewaninya, dikatakan mengalami
suatu perioda penderitaan setelah kehilangan tubuh fisiknya. Tak ada kesakitan
fisik, tentu saja, tetapi penderitaan itu sangat terasa (intens), karena dia
harus mengalami gairah tanpa bisa dipuaskan, karena sarana (tubuh fisik) untuk
pemuasan tidak ada lagi padanya. Ini dapat disamakan dengan tempat penyucian
jiwa atau perioda penyucian setelah kematian, seperti yang disebutkan dalam
beberapa sistim agama. Jelaslah itu seolah-olah, atau bahkan seperti pada
seseorang, bahwa dia ada di neraka, akan tetapi keadaannya sama sekali tidak
dalam alam penghukuman; itu hanya merupakan akibat yang tidak dapat dihindarkan
dari hukum alam, bekerjanya sebab-sebab yang diselenggarakan di dunia fisik.
Seorang pribadi yang perasaan-perasaannya dimurnikan dan terkontrol nafsu
makannya, tidak akan mengalami tegangan emosional yang berat
(intens), karena, bahkan bagian badan astral yang paling padat dan paling
kasarpun tidak berisi materi yang bergetar pada frekuansi ini. Dikatakan dia
berada dalam keadaan tidur sempurna sampai tercapainya tingkat dunia astral yang
lebih tinggi, ketika dia bangun, untuk mendapatkan kehidupan yang sama dengan
kehidupan yang telah dia tinggalkan.
Tetapi dunia astral tidak kekal. Setiap orang, bagaimanapun juga dasar
kehidupannya, dibersihkan keinginan-keinginan emosinya, lapisan yang lebih padat
menghilang dan dia mendapatkan dirinya dalam lingkungan-lingkungan yang lebih
baik dan menyenangkan.
Beberapa orang yang telah mempelajari mengetahui bahwa, masing-masing dari
ketujuh bidang atau medan konsentris dari suatu solar sistim dikatakan mempunyai
tujuh sub bidang, dan menurut penjelasan dari para clairvoyance, sub bidang
abstrak yang lebih tinggi adalah mirip dengan aspek kehidupan dunia yang
menyenangkan, meskipun tentu saja kurang bermateri (less material). Pada saat
ego mencapai tempat itu, emosi diperbaiki dan bentuk pikiran menjadi lebih
murni; sesungguhnya pada tingkatan ini, tidak ada materi yang dapat merespons
keinginan-keinginan yang kasar atau pikiran-pikiran yang tidak bersih. Tetapi,
ini adalah perbedaan penting terhadap kehidupan duniawi. Pikiran sekarang dapat
dilihat, dan penipuan tidak dimungkinkan; komunikasi ada pada tingkat yang tidak
memungkinkan seseorang pada tubuh fisik untuk memahaminya. Dunia astral
dinamakan “jagat tanpa penghalang” dimana materi adalah demikian responsive,
sehingga memikirkan sesuatu benda adalah sama dengan segera
membentuknya, meskipun benda itu mungkin hilang pada saat pikiran tidak
memikirkan hal itu lagi.
Kematian itu dikatakan siap untuk berkomunikasi dengan kehidupan pada saat
kehidupan itu dalam keadaan tidur; akan tetapi sepanjang yang bersangkutan
bangun, mereka biasanya tidak dapat menarik perhatian dari mereka yang
kesadarannya masih terpusat dalam dunia fisik. Rasa cinta dari teman-teman yang
masih hidup dan doa untuk orang yang sudah mati, apabila tidak disertai dengan
perasaan tertekan, sering merupakan suatu sumber pertolongan dan rasa senang
bagi mereka yang baru saja “masuk” kedunia astral. Akan tetapi, duka yang
mendalam dari mereka yang ditinggalkan, menimbulkan perasaan yang tidak
menyenangkan dan bahkan mungkin menghalangi perjalanan yang seharusnya mereka
lalui untuk suatu kurun waktu tertentu.
Seperti juga kalau bebergian dari satu kota ke kota lainnya, kita secara
bertahap menemukan teman baru dan sehaluan, maka demikianlah mereka yang kita
sayangi, yang telah “pergi” itu, mendapatkan diri mereka berada di lingkungan
baru, dengan penghuni dan persahabatan yang sangat bermanfaat untuk pertumbuhan
mereka.
Adalah suatu asumsi yang masuk akal bahwa jumlah waktu yang diperlukan, pada
tiap tingkat dunia emosi (dunia astral), akan tergantung pada waktu yang
dilewatkan dalam aktivitas yang sama selama mendiami badan (fisik). Kebiasaan
dikembangkan, disiplin dilatih, emosi dibentuk dalam setiap “bentuk” (being)
itu, yang adalah materi yang terdiri dari pengalaman-pengalaman astral. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa masing-masing menciptakan surga atau neraka
mereka sendiri.
Tetapi, pada akhirnya, badan astral juga memecah (memudar). Dengan berlalunya
waktu, yang mati makin lama makin menjauh dari ikatan pengalaman-pengalaman
fisiknya; meskipun demikian setiap emosi yang murni telah menyumbang kepada
keberadaan dari “manusia sejati” (real man) dan hanya ketidak murnian yang tidak
wajar terpecah (memudar). Dari penyelidikan-penyelidikan yang diberikan oleh
para clairvoyance pada umumnya, dipercaya bahwa 20 sampai 40 tahun adalah
rata-rata waktu tinggal didalam medan energi astral, dan kemudian, bila telah
lepas dari keadaan tersebut, ego itu mengalami lagi perasaan terbebas, bahkan
lebih bebas dari yang dia ketahui dan rasakan ketika terbebas dari tubuh fisik.
Keadaan ini dapat dibandingkan dengan masuknya ke kehidupan surga yang
dinyatakan dalam banyak agama.
Sifat khusus dari dunia surgawi yang ada pada keempat sub bidang yang lebih
rendah dari bidang mental, dikatakan menjadi suatu (ukuran) intensitas dari
kebahagiaan. Ini adalah suatu dunia dimana kejahatan dan kesedihan tidak
dimungkinkan, karena hal itu telah diselesaikan dan ditingglkan didalam dunia
fisik dan dunia astral. Ini juga merupakan suatu dunia dimana kekuatan merespons
terhadap cita-cita (hasrat) individual dibatasi hanya oleh kapasitasnya sendiri
untuk bercita-cita (berhasrat). Itu sebenarnya bukan tempat, akan tetapi suatu
keadaan kesadaran, dimana energi-energi telah melangkah naik secara mengesankan
ketingkat yang lebih tinggi dari suatu alam yang membutuhkan suatu tipe hubungan
(kontak) yang baru. Setelah lama dibebaskan dari keperluan untuk mendengar,
melihat dan merasakan, oleh keperluan organ-organ yang berbeda didunia fisik,
dia sekarang bahkan tidak lagi membutuhkan kemampuan-kemampuan dari dunia
astral. Sebaliknya dia merasakan dalam dirinya suatu
kekuatan yang membuat dia mampu untuk memperoleh setiap suasana atau keadaan
secara keseluruhan. Memikirkan suatu tempat adalah berada disana, memikirkan
teman tercinta adalah bersama dengan teman tersebut. Salah pengertian adalah
tidak mungkin. Dia berada ditengah suatu dunia cahaya, warna dan suara yang
tidak pernah berubah, dalam suatu kebahagiaan yang tidak dapat dilukiskan,
seolah-olah dikelilingi oleh yang dicintainya dan mampu untuk merealisasikan
cita-cita (hasrat) nya yang terbesar. Tidak memerlukan mata, tidak juga telinga,
tidak perlu merasuki hati manusia untuk memperoleh kegemilangan dunia surgawi.
Adalah di dunia itu, keadaan kesadaran ini, bahwa ego itu berasimilasi dan
meningkat ke dalam bagian-bagian pengalaman dari kehidupannya di bumi yang baru
lewat. Dia tentu saja hanya dapat menggunakan sejumlah pengalaman yang dia
kumpulkan, dan dia tidak dapat memulai sesuatu garis aktivitas yang baru, akan
tetapi semakin banyak teman yang dipunyainya, semakin banyak devosi yang dia
kerjakan untuk kepentingan orang lain, semakin mulia karakternya, semakin lama
waktu dibutuhkan untuk tinggal didunia surgawi, dengan maksud untuk berasimilasi
dengan panenan yang melimpah, hasil dari menabur dibumi (dunia). Dan tentu saja
fase keberadaannya menjadi lebih indah dan bahagia. Bhagawad Gita menyatakan:
“Siapa yang memuja nenak moyang akan bertemu dengan nenek moyang, siapa yang
memuja Tuhan akan bertemu dengan Tuhan….”.
Beberapa lamanya waktu yang dilewatkan dalam dunia itu, itu akan sesuai dengan
kepentingan individu tersebut. Kemudian gelombang kehidupan mampu dan
mendorong-nya untuk masuk kepada ketiga sub bidang yang lebih tinggi atau
tingkat dari dunia mental, dimana semua bagian (jurusan) yang diperoleh adalah
berhubungan dengan badan kausal. (Badan kausal adalah badan sebab akibat, red).
Sejatinya manusia atau ego, telah melalui suatu putaran suatu inkarnasi, telah
kembali pulang (ke asal) dan tinggal untuk suatu waktu pada tingkatannya sendiri
(lokasi yang sesuai dengan tingkatan getaran ego tersebut). Pada kebanyakan
individu, ini hanyalah merupakan suatu saat yang singkat, seperti keadaan
kesadaran yang bersifat seperti mimpi, meskipun pada tingkat perkembangan yang
(sangat) premitif, ego atau jiwa itu menyadari tujuan dari pelajaran yang
dipelajari dan mengesampingkan sisa-sisa dari kebaikan untuk digunakan pada masa
yang akan datang dalam bentuk keyakinan dan cita-cita
(hasrat). Meninjau pada istilah “medan” yang secara singkat akan dibahas
kemudian, dalam hubungannya dengan dunia eter, astral dan mental bawah,
perhatian perlu disampaikan disini pada fakta bahwa dalam hipotesa ini, tiga
tingkatan yang lebih tinggi dari dunia mental, tempat tinggal dari tubuh kausal,
dibicarakan sebagai medan “konseptual”. Karena manusia hidup didunia fisik atau
medan gravitasi, pengalaman dalam medan ilmu jiwa dinamis (psychodynamic field),
dia hidup dalam medan konseptual. Ini adalah rumahnya yang sebenarnya. Ini
adalah suatu “bidang’ dalam arti yang sepenuh-penuhnya --- tidak seperti arti
dalam dirinya sendiri sebagai medan gravitasi yang adalah bidang massa, maka
medan jiwa dinamis adalah bidang yang konstan, tidak pernah berhenti berkilau
dan bergerak (continuously radiance and motion). Medan konseptual adalah
kedudukan dari kekuatan bukan perorangan, seperti juga medan jiwa dinamis adalah
kedudukan dari kekuatan perorangan (personal power). Bila
manusia sadar sepenuhnya dalam tingkatan ini, seperti juga dia pada saat
tertentu berada dalam evolusinya, dia akan menguasai sepenuhnya setiap
pengalaman yang datang kepadanya.
Medan konseptual adalah bidang (medan) yang merupakan konsep dasar dari
kesadaran Plato (Platonic sense), rumah dari kebaikan, kebenaran, keindahan.
Potensi-potensi spiritual masih berada pada tingkat yang lebih tinggi dan
mempengaruhi mereka pada medan konseptual, seperti pengaruh yang terakhir
memberi kesan kepada mereka dalam medan jiwa dinamis. Ini (spiritual) adalah
suatu medan dimana kita mungkin menduga-duga, tetapi tentang hal itu kita
sebenarnya hanya sedikit tahu pada keadaan kondisi evolusi kita (saat ini). Kita
mungkin berteori bahwa “kekekalan” adalah suatu ciri khusus seperti massa,
gerakan, dan arti sepenuhnya adalah ciri khusus ketiga medan yang “lebih rendah’
yang disebutkan itu, akan tetapi sementara kita mungkin jarang dan mengalami
kedekatan yang berlalu dengan cepat tentang alam dari kekekalan ini, kita pada
masa kini tidak mungkin untuk memahaminya secara penuh.
Akan tetapi medan ini merupakan bagian terpenting dari seluruh hipotesa,
karena kekuatan spiritual adalah realitas yang tidak dapat disangkal dan pasti
mempunyai sumber. Itu dianggap sebagai medan dimana monad, seperti telah
diketahui, bertempat tinggal, berjanji melakukan dan --- melalui
perpanjangannya, yaitu ego --- bersangkut paut dengan perjalanan panjang evolusi
selama berabad-abad. Dikatakan bahwa ketika perjalanan panjang ini dilengkapi
dan tugas manusia dipenuhi, tubuh kausal memecah dengan sendirinya, dan ego
bersama unsur-unsur personalitas itu, yang telah dibuat kekal, diserap kembali
kedalam monad untuk usaha selanjutnya pada tingkat manusia super yang hampir
tidak dapat dibayangkan oleh kita.
Kembali pada pembicaraan tentang lingkaran kehidupan dan kematian, setelah
tinggal (sementara) dalam tubuh kausal --- lebih singkat atau lebih lama sebagai
kasus kemungkinan --- ego menjadi lapar terhadap pengalaman-pengalaman baru.
Pada saat ini, dikatakan ego mempunyai visi sementara terhadap
pelajaran-pelajaran yang akan dialami pada reinkarnasi berikut, dan kemudian
dibawa oleh irama desakan kehidupan kedalam proses penumpukan suatu perangkat
tubuh baru untuk reinkarnasi yang akan datang. Hanya melalui keinginan jiwa
sendiri dan kebutuhan untuk (mendapatkan) pengalaman pada bidang-bidang yang
lebih rendah, dan potensi konsekuensi untuk perkembangan lebih lanjut, itu
dibawa kembali lagi kedalam putaran kelahiran kematian --- dan hal ini diulangi
berkali-kali sampai kemungkinan-kemungkinan pencapaian melalui proses (menjadi)
lelah, dan jiwa berdiri dilorong kekekalan (divinity).
Antonius Samsu Trihadi
Jl. Hasan Saputra III No. 6 Bandung - 40264.
"Keep me away from the wisdom which does not cry, the philosophy which does not
laugh and the greatness which does not bow before children."
- Kahlil Gibran -
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar