Sandhya Kala di Nusantara

Serat Kalatida. Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan
nora tahan, yan tan melu anglakoni boya kaduman melik, kaliren
wekasanipun, ndilallah kersaning allah, begja-begjane kang lali,
luwih begja kang eling lan waspada.
---
Anakku Ki Butolocaya*, coba engkau perhatikan sebuah bait pada Serat
Kalatida dari Ronggowarsito. Kala artinya jaman, sedangkan tida -
samar-samar. Jadi kalatida dapat diartikan sebagai jaman 'samar-
samar'. Layaknya senja kala, sudah redup mentari, tapi gelap malam
belum juga kelam. Ibarat air sungai di muara, tidak tawar, tapi
belum juga asin. Nilai-nilai orde baru sudah ditinggalkan, tetapi
orde reformasi belum juga ketemu bentuknya. Masa transisi, laksana
sandhyakala. Sandhya artinya berdoa dan kala adalah saat/waktu.
Sehingga sandhya kala adalah waktu yang tepat untuk berdoa. Berdoa
secara pasif, memohon kepadaNya, dan secara aktif, dengan
melaksanakan segala perintahNya. Dan pada saat transisi, kita juga
perlu pimpinan, yang mampu menuntun seluruh anak Bangsa melewati
masa-masa transisi ini.

=== Sandhya Kala di Nusantara
=== Butalocaya : bodoh tapi dapat dipercaya

Nusantara tengah berada di pusaran transisi. Anakku, coba kau lihat
dengan seksama, informasi dari mancanegara, kau pasti jadi tersadar,
akan kondisi riil Tanah Nusantara. Pada perioda merdeka sampai
dimulainya Orde Baru, masyarakat Nusantara masih tergolong primitif,
agraris dan pra-industri. Sedangkan bangsa-bangsa Barat, telah
menjadi masyarakat industri dan pra-informasi. Lalu ketika kita
tertatih-tatih menuju era Industri, bangsa kita harus bersaing
dengan bangsa-bangsa lain yang telah masuk era pasca industri dan
era informasi.

Agar memiliki daya saing, pembangunan dilaksanakan. Akan tetapi,
ketika bangsa ini belum sepenuhnya beradaptasi dengan pola-pola
peradaban industri, pembangunan telah memaksa masyarakat untuk masuk
ke Era Informasi. Perkembangan tak dapat ditolak. Oleh sebab itu,
pembangunan seringkali menyebabkan tercerabutnya masyarakat dari
akar-akarnya, untuk kemudian dicemplungkan pada nilai-nilai yang
sama sekali baru. Hasilnya adalah alienasi sosial atau keterasingan
sosial, dimana sistem nilai yang lama dilepas, tetapi sistem nilai
yang baru belum dapat diserap dan dikuasai, sementara perkembangan
jaman terus melaju, tak bisa menunggu. Berbarengan dengan
itu, 'serangan' dari negara-negara lain, sangat gencar mengobrak-
abrik ketahanan kita sebagai bangsa.
---
Serangan pertama tertuju pada Sistem budaya nasional. Globalisasi
komunikasi berdampak pada penyeragaman budaya. Budaya Barat dengan
nilai-nilai yang lebih praktis masuk, dan menggusur budaya
tradisional timur yang lebih rumit. Melalui teknologi informasi dan
komunikasi, penjajahan budaya secara Internasional telah terjadi.
Sia-sia jika engkau ingin menangkalnya, karena teknologi ini, tak
mudah untuk dibatasi, apalagi dengan upaya sensor. Berita sensitif
yang dilontarkan di luar negeri, tak terhalang untuk masuk ke dalam
negeri, bisa melalui faksimili, email ataupun website di internet.
Wanita berbusana superseksi di serial Baywatch atau telenovela lain,
praktis menjadi tontonan anak-anak di Sabang, Jakarta, Wonogiri
sampai ke Jayapura, tanpa bisa dihambat. Dan itu, menyebabkan
terjadinya erosi nasionalisme dan kegamangan budaya.

Politik dan tata negara juga diserang secara frontal. Konsep
pembangunan, sudah tentu 'berbau' Barat, karena disusun oleh
teknokrat berpendidikan Barat. Karena itulah, untuk menangkal
pencerabutan budaya ini lebih jauh, maka tanah Nusantara memerlukan
pemimpin, yang mampu mengembangkan pendekatan-pendekatan yang
berbasis pada falsafah dan khasanah budaya nasional. Upaya ini harus
dilakukan tanpa lelah dan tanpa henti. Salah satunya, dengan
menggunakan Bahasa Indonesia dalam setiap kesempatan forum
internasional, walau mampu dalam menggunakan bahasa Inggris.
Barangkali, ini jadi strategi efektif untuk mempertahankan
nasionalisme atau kecintaan akan bangsa dan negara..

Perekonomian juga digempur dari segala penjuru. Globalisasi
perdagangan telah menekan dan menggiring perekonomian Indonesia
menjadi 'terpinggirkan'. Berbagai tekanan tak hanya dalam bentuk
ekonomi, seperti kuota dagang, sistem preferensi dan sebagainya,
tetapi juga dalam bentuk non-ekonomi seperti masalah-masalah Hak
Asasi Manusia, buruh, lingkungan hingga masalah demokratisasi.
Kombinasi tekanan tersebut, terasa makin sulit dikendalikan dan
dikelola. Fakta-fakta di atas, jelas-jelas mengurangi kecepatan
akselerasi pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, yang
berwujud defisit transaksi berjalan, melemahnya mata uang dan makin
rendahnya nilai produktifitas total bangsa Nusantara sebagai sebuah
entitas, dibanding dengan beberapa negara tetangga.
---
Dari segi sosio kultural, politik dan ekonomi, kita telah
mendapatkan serangan nyata. Tugas berat seorang pemimpin adalah
menjadikan Republik ini, sebagai sebuah kesatuan hidup yang kuat dan
terintegrasi, sehingga menjadi sebuah entitas yang efisien, dan
mampu bersaing dalam kompetisi global. Usaha ini harus dilakukan
secara terus menerus, karena serangan global tak kunjung henti,
bahkan cenderung meningkat baik dalam jumlah, jenis maupun
intensitasnya. Kesatuan hidup seperti yang dicita-citakan, dapat
dibangun dengan dua langkah strategis yaitu memperkuat jati diri
bangsa dan kedua meningkatkan sumber daya manusia.

Dari kedua langkah strategis itu, maka yang utama adalah membangun
kembali jati diri bangsa. Kaidah utama filsafat Nusantara yang telah
dianut sejak lama adalah kaidah rukun dan hormat. Kedua kaidah ini,
sudah tercabik-cabik saat dimulainya reformasi, dan itu berlangsung
hingga saat ini. Kaidah rukun mengatakan bahwa, dalam setiap situasi
hendaknya 'manusia' bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak sampai
menimbulkan konflik. Tujuannya adalah, membawa kepada kehidupan yang
rukun, yaitu terciptanya keselarasan dan harmoni sosial. Kaidah
hormat mengatakan, bahwa 'manusia' dalam cara bicara dan membawa
diri, agar selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain,
sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Pandangan ini dilandasi oleh
keinginan, untuk menciptakan masyarakat yang teratur dan baik, di
mana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya, dengan demikian,
ikut menjaga agar seluruh masyarakat, menjadi satu kesatuan yang
selaras.

Toleransi menjadi signifikan dalam mengelola kebhinekaan di
Nusantara. Sehingga kata 'mufakat' menjadi penting dalam usaha
mengelola bangsa. Apapun caranya, mufakat adalah yang paling baik.
Dan cara terbaik untuk mencapai mufakat, tentu saja dengan
musyawarah. Karena itulah, gagasan tentang demokrasi dan oposisi ala
literatur barat, menjadi kurang relevan. Kaidah rukun dan sikap
saling menghormati akan membuahkan toleransi. Dan toleransi adalah
titik awal kita, dalam membangun kembali jati diri bangsa yang sudah
sangat terpuruk ini.

Serangan budaya Barat itu, juga harus diredam dengan membangun
sistem pendidikan yang baik untuk anak bangsa. Kemajuan selaras
hanya dapat diperoleh dengan menggodok generasi muda kita, sehingga
memiliki kemampuan intelektual, emosional, maupun kecerdasan
spiritual yang tinggi. Dengan perpaduan ketiga hal di atas, maka
segala informasi dari Barat, akan mampu mereka pilah dan saring,
lalu diramu dan disesuaikan dengan jati diri bangsa.

Demikianlah anakku Butalocaya, seperti arti tembang di atas, saat
ini adalah jaman transisi, dimana budi pekerti seakan tersingkirkan.
Kalau engkau ikut edan, maka sudah dipastikan kau tak tahan, anakku.
Karena kutahu engkau masih punya hati nurani. Akan tetapi aku juga
tahu, kalau tidak mengikuti geraknya jaman, maka tak akan kebagian,
bahkan bisa-bisa melarat. Akan tetapi, buah hatiku, serahkan semua
pada kehendakNya, karena pada dasarnya, sebahagia-bahagianya orang
yang 'lupa' akan lebih baik nantinya orang yang selalu 'eling' dan
tetap 'waspada'

---oOo---

Tidak ada komentar: