Tragedi Pancasila

Salah satu prinsip moral yang dapat diambil dari al-Muqaddimah Ibn Khaldun
(1332-1406) adalah bahwa seorang peneliti atau pengamat tidak boleh
membesar-besarkan tokoh yang disukainya atau sebaliknya mengecilkan tokoh yang
tidak disukai.

Dalam kaitannya dengan Pancasila pernah dikemukakan pendapat bahwa penggali
Pancasila bukan Bung Karno, tetapi Yamin. Ini berdasarkan buku Yamin yang
mengatakan bahwa Lima Prinsip Dasar itu telah dikemukakannya sebelum 1 Juni 1945
mendahului Bung Karno yang menyampaikan pidatonya tentang Pancasila pada 1 Juni
1945 di depan BUPKI, sebuah pidato tanpa teks yang kemudian diberi nama Lahirnya
Pancasila.

Hasil penelitian saya menemukan bahwa adalah sebuah kebohongan historis bila ada
pendapat yang mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang pertama kali mengemukakan
Lima Dasar itu, tetapi orang lain. Memang, Bung Karno tidak menempatkan Sila
Ketuhanan sebagai yang teratas, tetapi sebagai prinsip pengunci. Pancasila yang
ada sekarang adalah hasil rumusan 22 Juni 1945 yang dikenal dengan Piagam
Jakarta minus tujuh kata yang semula mengiringi Sila Ketuhanan, dalam format
''dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.'' Tujuh
kata ini kemudian diganti dengan atribut Yang Maha Esa, yang kabarnya diusulkan
Ki Bagus Hadikusomo, tokoh puncak Muhammadiyah ketika itu.

Resonansi kali ini tidak ingin berpanjang-panjang berbicara tentang proses
historis Pancasila ini, sebab seluruh UUD yang pernah dikenal dalam sejarah
Indonesia sebelum dan pasca-Proklamasi, tidak ada yang tidak menempatkan
Pancasila pada posisi teratas. Tetapi, yang ingin ditegaskan adalah bahwa
Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya yang dahsyat itu telah mengalami tragedi
demi tragedi, tidak dalam kata, tetapi justru dalam laku, sebagaimana yang
sering saya kemukakan di berbagai forum. Dalam ungkapan lain, jika kita
memperkatakan Pancasila, implementasi nilai-nilai luhur inilah yang seharusnya
menjadi titik perhatian utama, bukan memperdebatkannya secara teoretikal.

Bagi saya semua nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila sangat jelas, tidak
perlu orang terlalu berbelit-belit menyikapinya. Sila pertama, ''Ketuhanan Yang
Maha Esa,'' jelas memberi landasan kuat bagi kehidupan beragama secara tulus dan
otentik. Sila kedua, ''Kemanusiaan yang adil dan beradab,'' tidak bisa
ditafsirkan selain bahwa bangsa ini wajib menegakkan keadilan dan keadaban dalam
berperilaku, baik perorangan maupun dalam kehidupan kolektif dalam politik,
sosial, ekonomi, dan budaya. Penyimpangan dari perilaku adil dan beradab adalah
pengkhianatan terhadap sila ini.

Dan inilah yang sering berlaku selama hampir 61 tahun kita merdeka.
Pengkhianatan ini tidak semata-mata dalam bentuk upaya sementara orang yang
ingin mengganti Pancasila dengan dasar lain. Tetapi laku yang beringas, tindak
kekerasan, pelanggaran HAM, menggarong harta bangsa, main hakim sendiri, merusak
milik negara sekalipun itu dengan meneriakkan Allahu Akbar, semuanya adalah
perbuatan khianat dalam perspektif sila kedua.

Kemudian, sila ketiga berupa ''Persatuan Indonesia,'' bukan ''Kesatuan
Indonesia,'' semestinya membimbing bangsa ini dalam kebhinnekaan (pluralisme)
yang kaya dalam mosaik budaya yang beragam. Tetapi, yang terjadi selama sekian
dasawarsa adalah politik negara yang sentralistik dan penyeragaman tata sistem
sosial budaya lokal secara paksa melalui undang-undang. Ini adalah bentuk
pengkhianatan konstitusional yang telah menimbulkan keresahan dan perlawanan
diam-diam dari berbagai subkultur Indonesia yang kaya itu.

Sila keempat, ''Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan'', tegas sekali memerintahkan bahwa demokrasi harus
ditegakkan secara bijak melalui musyawarah yang betanggung jawab dan dengan
lapang dada. Di luar cara-cara ini, sila kerakyatan yang memuat prinsip
demokrasi itu hanyalah akan membuahkan malapetaka berkepanjangan yang telah
menjadikan rakyat banyak sebagai kelinci percobaan politik yang amoral.

Perkembangan terakhir dalam cara kita berdemokrasi tampaknya semakin jauh dari
roh Pancasila dalam pengertiannya yang utuh dan padu. Ini adalah bentuk tragedi
yang selalu saja ditimpakan orang pada Pancasila. Terakhir, sila kelima,
''Keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,'' telah menjadi yatim piatu sejak kita
merdeka. Hampir tidak ada kebijakan pemerintah dan DPR yang benar-benar
dibimbing oleh sila ini.

Rakyat dari masa ke masa tidak semakin merasakan keadilan, tetapi penindasan
berencana via undang-undang, apakah undang-undang itu berupa darurat militer,
undang-undang hubungan pusat dan daerah, undang-undang penanaman modal asing,
dan lain-lain. Oleh sebab itu, matahari sudah condong ke barat bagi kita semua
untuk berhenti menjadikan Pancasila sebagai retorika politik yang kosong dan
menipu. Pancasila di bawah sinar wahyu harus menuntun seluruh laku kita dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sekarang dan untuk selama-lamanya, jika
Indonesia memang masih mau dipertahankan.

REPUBLIKA
Selasa, 30 Mei 2006
Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Tidak ada komentar: