Surat Untuk Sahabat "Maya" Di Belanda

Mas Heri Latif,

Ketika mas memberi semangat kepada saya untuk menulis pemikiran,
maka lahirlah tulisan Gunung Merapi Meletus Laharnya Berbau Amis.
Kita ingat, bahwa tulisan ini selesai, jauh sebelum Gunung Merapi
benar-benar meletus, dan laharnya berbau amis.

Saya bukan ahli mistis atau punya kemampuan spiritual, tapi entah
kenapa pertanda-pertanda itu datang kepada saya. Karena pertanda-
pertanda itu, saya berusaha menelusuri jejak-jejaknya. Saya ikuti
suara hati, pergi ke desa Bambang Lipura bersemedi di Selo Gilang.
Sebelumnya saya tidak tahu dimana letak selo gilang itu, tapi
sepertinya saya ditarik dan ketika datang saya telah ditunggu oleh
Pak Hendro, Sang Juru Kunci.

Oh ya, saat ini bambang lipura mengalami kerusakan hebat, dan
ternyata bangunan tempat batu itu, tetap berdiri kokoh, tidak ada
satu gentengpun yang roboh. Sementara bangunan di sebelahnya ambruk,
rata dengan tanah.

Ketika bersemedi di sana, di bawah bimbingan P'Hendro sang juru
kunci, saya memperoleh pertanda - bau harum semerbak melati.
Akhirnya saya lanjut menuju ke parangkusuma. Tempat kedua, menurut
buku, yang harus saya kunjungi.

Sesampai di parangkusuma, malam hari, saya bersemedi di tepi pantai,
gemuruh ombak luar biasa, gelap mencekam. Pada saat itu saya pasrah,
karena kalau sampai dapat pertanda, maka saya harus pergi ke Gua
Langse. Saya tidak terlalu berusaha mencari pertanda, tapi entah
dari mana, dalam plastik sisa kembang yang saya taburkan ke laut,
ternyata masih tersisa 2 buah bunga kantil. Oleh P'Hendro, sebelum
ke parangkusumo saya diceritakan, bahwa lambang pertemuan penguasa
laut selatan dan panembahan senopati adalah sepasang bunga kantil.

Pertanda itu, membawa saya pergi ke Gua Langse dekat parang teritis.
Jam sudah menunjukkan kira-kira pukul 11.30 malam. Tukang taksi tak
mau mengantar, begitu pula tukang ojek. Tapi setelah 4 tukang ojek,
ada tukang ojek kelima yang mau mengantar dengan biaya Rp.40.000
sekali jalan, bulak-balik 80.000, tapi tak mau menunggu. Jadi saya
beri 100.000, supaya dia mau menunggu saya.

Saya ke gua langse, menempuh gelapnya malam, menelusuri jalan yang
tak pernah saya lalui, hanya keyakinan hati, bahwa saya sampai, itu
pasti. Berjalan di gelapnya malam, bukan untuk cari kuasa ataupun
mengejar harta benda, karena apa yang saya miliki sekarang sudah
cukup, sangat cukup. Tapi semata-mata mengikuti suara hati dan
pertanda-pertanda yang ada.

Ternyata akhir jalan setapak itu adalah tebing curam vertikal, di
bawahnya debur ombak laut selatan. Lalu saya duduk di tengah ceruk
kecil di atas tebing, disanalah ketakutan mulai menyergap. Takut
yang luar biasa ... tapi bagaimana ? Berteriakpun percuma, saya
ambil napas, menenangkan hati, sambil berfikir, darimana rasa takut
itu datang. Perlahan-lahan saya mulai bisa menguasai perasaan saya.
Saya bisa duduk dengan tenang, mendengar tetes air yang berbunyi
sangat keras.

Sambil bersila saya memandang laut selatan di tengah malam, diiringi
debur ombak, di atas tebing sebagai pertanda menyatunya gunung dan
lautan. Di sana saya merasa, betapa kecilnya diri ini dibanding
kuasa Sang Maha Pencipta. Tidak seperti sebelumnya, saya
sering "bicara" tentang kekuasaan Tuhan, hanya dimulut saja. Tapi
saat itu, setelah lepas dari tekanan ketakutan, saya benar-benar me-
"rasa"-kan kebesaranNya.

Pada saat pulang, hanya ditemani sinar rembulan yang redup, saya
melangkahkan kaki dengan ringan. Tanpa beban, karena saya telah
berusaha untuk mengikuti "suara hati" saya, untuk pergi ke tempat-
tempat yang jadi pertanda. Sampai di Melia Purosani, waktu kira-kira
jam 2.30 pagi, dengan sepatu penuh lumpur. Rangkaian pertemuan
dengan orang-orang di tempat itu, menjadi inspirasi tulisan Gunung
Merapi Meletus Laharnya Berbau Amis.

Rangkaian pertanda, membawa pada pertanda terakhir, Gunung Merapi
Meletus Laharnya Berbau Amis. Benar sudah gunung merapi meletus, dan
amis darah tercecer di tubuh yang tertimpa bangunan. Perlambang Amis
dikaitkan gempa jadi cukup tepat, karena kalau terkena wedhus
gembel, bukan amis yang muncul, melainkan bau gosong. Lalu secara
fisik, debu merapi menempel di daunan - apabila terkena air, akan
menyebabkan bau amis yang sulit hilang. Jikalau hujan datang, maka
akan tambah celaka, racun itu akan mengambil korban lebih banyak
lagi di masa datang.


Sebenarnya ada pertanda lain, setelah Gunung Merapi Meletus,
Laharnya berbau Amis. Pertanda-pertanda itu adalah Solusi untuk
menghadapi kekacauan ini.

Saya sudah ikuti pertanda itu, juga jauh sebelum gunung merapi
meletus. Saya ketemu mbah marijan, disuruhnya saya pergi ke Bali.
Lalu saya ke bali, bersemedi di pura blatung, pura melanting, pura
pulaki, pura kerta kawat. Dapat petunjuk lalu saya ke pura sakenan,
pura masceti, dari masceti saya pergi ke pura slukat. Dari pura
masceti itu, lalu saya pergi ke Uluwatu, yang suasananya sangat
mirip dengan Gua Langse.

Dari Bali saya pergi ke Desa Ndlepih Tirtamaya. Disana ada Selo
Payung, tempat Panembahan Senopati bersemedi, dan menyusun rencana
agar bisa berkuasa jadi raja Tanah Jawa. Disana muncul informasi
tentang nama-nama beberapa danyang tanah jawa, yang akan mengobrak-
abrik tatanan lama, untuk disusun tatanan masyarakat baru, yang
lebih adaptif dengan alam.

Pertanda itu dimulai dengan kata-kata : Saya tahu tapi tidak tahu,
Saya tidak tahu, tapi sebenarnya saya tahu. Dan saya belum menemukan
benang merah bagaimana masyarakat dengan tatanan baru akan terbentuk.

Bagaimana mas heri ? Apakah kita lanjutkan perjuangan ini ? Walau
ini terlihat bodoh, tapi karena satu pertanda dan disusul pertanda
lain telah terbukti, apakah kita harus abaikan ?

Saya butuh dukungan mas heri dan teman-teman dari Belanda, karena di
sana kekayaan sastra tanah nusantara berada. Saya membutuhkan
beberapa keping lagi, sehingga semua keping bisa berada pada
tempatnya, dan jadi benang merah yang cukup logis, agar kita siap
dengan perubahan yang akan terjadi.

Lalu setelah itu, kita tunggu "seseorang" yang akan merekatkan
seluruh keping menjadi satu. Kita harus membantu dia, itu tugas kita.

Merdeka Tanah Nusantara.


Ki Jero Martani

Tidak ada komentar: